Mendefinisikan dan Mengukur Kejahatan

Seperti yang telah dijelaskan di awal bab ini, kejahatan adalah perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar hukum pidana dilakukan dengan niat, bukan secara tidak sengaja, dan tanpa pembenaran atau alasan yang sah. Karena kejahatan mencakup begitu banyak jenis perilaku, muncul pertanyaan: apakah kita harus membatasi diri pada definisi hukum semata dan hanya mempelajari individu yang telah dinyatakan bersalah atas perilaku yang secara hukum dikategorikan sebagai kejahatan? Ataukah kita juga perlu memasukkan individu yang melakukan perilaku antisosial tetapi tidak terdeteksi oleh sistem peradilan pidana? Mungkin juga kita harus mempelajari orang-orang yang memiliki kecenderungan menjadi pelaku kejahatan jika memang mereka dapat diidentifikasi.

Jika kita meninjau buku teks dan literatur kriminologi, tampak jelas bahwa belum ada kesepakatan universal tentang kelompok mana yang seharusnya menjadi objek studi. Jika kita berpegang secara ketat pada definisi hukum kejahatan dan hanya melakukan penelitian serta diskusi berdasarkan orang-orang yang telah melakukan tindak pidana, maka muncul pertanyaan: apakah kita hanya mempertimbangkan mereka yang telah divonis dan dipenjara atau menjalani hukuman di masyarakat, ataukah kita juga memasukkan mereka yang telah melanggar hukum pidana namun hanya ditangkap dan tidak sampai divonis bersalah? Meskipun sebagian dari mereka memang “benar-benar pelaku kejahatan,” sejumlah lainnya ditangkap padahal sebenarnya tidak bersalah. Dan, seperti yang semakin disadari dalam beberapa tahun terakhir, ada juga orang yang tidak bersalah tetapi divonis bersalah dan dipenjara. Berdasarkan bukti DNA terbaru, misalnya, hingga awal tahun 2014, sebanyak 312 narapidana telah dibebaskan setelah terbukti dihukum secara keliru (Innocence Project, 2014). Dari jumlah tersebut, 18 orang bahkan sempat dijatuhi hukuman mati.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang melanggar hukum tetapi tidak terdeteksi, atau mereka yang diketahui oleh aparat penegak hukum tetapi tidak pernah ditangkap atau didakwa karena menerima perlakuan istimewa? Di sisi lain, banyak tindakan yang tergolong sebagai tindak pidana justru tidak ditangani oleh sistem peradilan pidana. Sebagai contoh, eksploitasi finansial dan bahkan kekerasan fisik terhadap lansia sering kali justru dirujuk ke lembaga layanan sosial, bukan kepada kepolisian.

Singkatnya, upaya untuk mempelajari kejahatan dan perilaku kriminal menghadirkan banyak tantangan bagi para ilmuwan sosial. Objek studi yang paling sering digunakan adalah orang-orang yang berada dalam tahanan, seperti narapidana atau remaja nakal di lembaga pemasyarakatan. Padahal, mereka belum tentu mewakili populasi kriminal yang sebenarnya. Demikian pula, lingkup kejahatan itu sendiri sangat sulit untuk diukur secara akurat. Meskipun berbagai metode telah digunakan untuk mengukurnya, tidak ada satupun yang memberikan informasi yang cukup lengkap dan menyeluruh.

Dalam hal memperoleh data mengenai frekuensi, penyebaran, dan karakteristik kejahatan, terdapat banyak kendala. Kejahatan biasanya diukur dengan salah satu dari tiga cara berikut dan tidak ada yang sempurna:

Laporan resmi dari kepolisian mengenai kejahatan yang dilaporkan dan penangkapan, seperti yang dihimpun dan dikirimkan ke Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk dipublikasikan dalam laporan statistik tahunan nasional mereka, yaitu Uniform Crime Reports (UCR) dan sistem pelaporannya yang lebih rinci, National Incident-Based Reporting System (NIBRS).

Studi pelaporan mandiri (Self-Report/SR), di mana anggota sampel populasi ditanya mengenai pelanggaran hukum apa yang pernah mereka lakukan dan seberapa sering.

Studi viktimisasi nasional atau regional, yang melibatkan survei terhadap rumah tangga atau pelaku usaha, untuk menanyakan apakah dan seberapa sering mereka menjadi korban kejahatan tertentu.