Salah satu tantangan utama yang dihadapi penulis dalam menyusun buku ini adalah menyeimbangkan antara perilaku antisosial dan perilaku kriminal, atau antara individu yang antisosial dan individu yang secara hukum dianggap sebagai pelaku kejahatan. Beberapa akademisi sejak lama berpendapat (misalnya Sellin, 1970; Tappan, 1947) dan hukum pun sependapat bahwa seseorang yang melakukan aktivitas kriminal tetapi tidak terdeteksi secara hukum, secara operasional bukanlah seorang “kriminal” karena istilah itu hanya berlaku bagi orang yang telah terdeteksi, ditangkap atau dipanggil ke pengadilan, serta dinyatakan bersalah.
Namun, dari sudut pandang psikologi, muncul permasalahan ketika kita hanya membatasi kajian pada orang yang secara hukum disebut kriminal atau pada perilaku yang secara hukum disebut kejahatan. Klasifikasi hukum ditentukan oleh apa yang dianggap merugikan masyarakat pada waktu tertentu. Sesuatu yang dianggap kriminal belum tentu juga secara moral salah. Karena setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang berbeda dan terus berubah, tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dalam suatu masyarakat mungkin tidak dianggap demikian di masyarakat lain atau bahkan di waktu yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Contohnya terlihat dari hukum ganja di berbagai negara bagian di AS: ada yang mengizinkannya untuk keperluan medis, ada yang mendekriminalisasinya dalam jumlah kecil, dan ada pula yang memperbolehkannya untuk penggunaan rekreasional.
Contoh lain seperti perjudian ilegal, prostitusi, dan penyebaran materi pornografi terus mengalami perubahan regulasi. Beberapa yurisdiksi bahkan telah melarang penggunaan ponsel atau berkirim pesan saat mengemudi, dan pelanggar bisa dijatuhi hukuman pidana. Meskipun kami tidak menyetujui perilaku berkirim pesan saat mengemudi, buku ini tidak berfokus pada psikologi pelaku tindakan tersebut. Buku ini lebih menaruh perhatian pada tindak kejahatan serius yang secara luas dianggap tidak dapat diterima. Namun demikian, kami juga tetap memperhatikan pelanggaran yang tidak selalu dianggap serius atau salah, tetapi memiliki implikasi psikologis bagi pelaku maupun korban misalnya pencurian kecil (shoplifting) atau penipuan ringan.
Selain itu, anggota masyarakat dan sistem hukumnya memiliki persepsi dan perlakuan yang berbeda terhadap pelanggar hukum. Latar belakang pelaku, kondisi ekonomi, status sosial, kepribadian, motivasi, jenis kelamin, usia, ras, etnis, kualitas penasihat hukum, serta kondisi saat pelanggaran terjadi, semuanya bisa mempengaruhi proses peradilan pidana. Tidak banyak yang akan membantah bahwa penegakan hukum bersifat selektif. Sangat mungkin bahwa orang-orang yang ditangkap, dihukum, dan menjalani hukuman adalah sampel yang berbeda secara mencolok dari mereka yang melakukan tindakan ilegal tapi tidak terdeteksi.
Sekitar seperlima dari mereka yang ditangkap akan menjalani persidangan (Sarbin, 1979). Proses pelabelan sebagai pelaku kejahatan dimulai saat aparat hukum (biasanya polisi) menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jika ditangkap, orang tersebut bisa didakwa dan menjadi terdakwa. Jika mengaku bersalah atau terbukti bersalah di pengadilan, ia menjadi terpidana baik sebagai pelaku kejahatan berat (felon) maupun ringan (misdemeanant). Terpidana bisa dijatuhi hukuman penjara, lalu diberi label seperti “narapidana,” “tahanan,” atau “kriminal,” atau bisa juga dijatuhi hukuman percobaan (probation) dan tetap tinggal di masyarakat. Pada setiap tahap proses hukum, jumlah individu yang lolos ke tahap berikutnya makin sedikit. Proses penyaringan ini sering ditampilkan dalam buku-buku peradilan pidana sebagai ilustrasi cara kerja sistem hukum.
Oleh karena itu, secara umum diakui bahwa mereka yang dipenjara tidak mewakili keseluruhan populasi kriminal “yang sebenarnya,” karena banyak pelaku kejahatan yang tidak tertangkap dan/atau tidak dihukum. Bahkan, dengan semakin majunya teknologi seperti bukti DNA dan penyelidikan ulang kasus, kini kita mengetahui bahwa tidak semua yang dihukum benar-benar bersalah (The Innocence Project, 2014). Namun, para peneliti yang mengkaji “pikiran kriminal” sering menggunakan subjek penelitian dari kelompok pelaku yang sudah berada di tahap akhir proses hukum, yaitu narapidana atau terpidana. Akibatnya, jika kita hanya membahas mereka yang secara hukum disebut kriminal, kita akan mengabaikan bagian besar dari populasi pelanggar hukum. Meskipun demikian, karena buku ini berbasis riset, jenis dan ketersediaan data empiris sangat menentukan isi yang dibahas.
Jika kita hanya membahas perilaku yang secara hukum disebut kejahatan, kita juga akan mengabaikan perilaku yang secara jelas relevan yakni perilaku yang bersifat antisosial. Banyak penelitian psikologi yang membahas topik seperti agresi dan perilaku antisosial. Karena relevansinya terhadap perkembangan perilaku kriminal di kemudian hari, maka topik ini turut dibahas.
Mayoritas kejahatan di Amerika Serikat dan negara-negara lain bukanlah kejahatan kekerasan. Pada tahun 2013, jumlah penangkapan terbesar adalah karena pelanggaran narkoba, mengemudi di bawah pengaruh alkohol, dan pencurian ringan. Mayoritas pelaku yang ditangkap bukanlah pelaku kejahatan serius (FBI, 2014a). Namun, kriminologi psikologis lebih tertarik pada minoritas pelaku yang melakukan kejahatan serius secara berulang. Oleh karena itu, fokus utama buku ini adalah pada pelaku yang terus-menerus dan berulang kali melakukan kejahatan atau perilaku antisosial, baik terdeteksi maupun tidak oleh sistem peradilan pidana. Artinya, buku ini menitikberatkan pada individu yang berulang kali melakukan kejahatan atau tindakan antisosial dalam jangka panjang (minimal beberapa tahun). Meskipun demikian, kami juga membahas pelaku kejahatan serius yang hanya sekali melakukannya seperti pembunuh massal atau remaja yang melakukan kejahatan berat.
Karena alasan-alasan tersebut, banyak psikolog dan profesional kesehatan mental lebih memilih istilah “perilaku antisosial” dibandingkan “kejahatan” atau “perilaku kriminal” untuk menggambarkan tindakan serius yang melanggar hak orang lain, hukum, dan norma sosial secara umum. Perilaku antisosial mencakup kategori hukum seperti kenakalan remaja dan kejahatan, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan yang melanggar norma masyarakat meskipun tidak dikategorikan sebagai kejahatan. Tidak semua perilaku antisosial bersifat kriminal. Bahkan, sebagian besar perilaku antisosial yang tergolong kejahatan tidak pernah terdeteksi. Oleh sebab itu, istilah perilaku antisosial akan sering digunakan sepanjang buku ini, terutama saat membahas perkembangan perilaku yang belum secara hukum disebut kejahatan atau kenakalan, tetapi berpotensi menjadi demikian.
Perlu dicatat bahwa banyak psikolog juga menggunakan istilah externalizing behavior untuk merujuk pada perilaku antisosial. Namun, istilah ini bisa memiliki makna tambahan tergantung konteksnya. Beberapa psikolog menggunakan istilah ini untuk mencakup berbagai perilaku seperti kenakalan, hiperaktivitas, perilaku impulsif, permusuhan, agresivitas, dan gangguan perhatian/hiperaktivitas (ADHD). Dalam buku ini, kami memilih menggunakan istilah “perilaku antisosial” karena lebih lugas, meskipun kami juga akan membahas konsep-konsep lain yang sering termasuk dalam externalizing behavior secara terpisah dan lebih mendalam.