Istilah “psikologi” dan “psikiatri” sering kali membingungkan bagi masyarakat awam, bahkan bagi para profesional dan akademisi dari disiplin ilmu lain. Banyak psikiater, seperti halnya psikolog, bekerja di berbagai bidang yang membuat mereka berhubungan langsung dengan orang-orang yang dituduh atau telah divonis melakukan tindak kejahatan. Mereka melakukan penilaian terhadap terdakwa, memberikan kesaksian ahli di pengadilan, serta menawarkan perawatan baik di masyarakat maupun di lembaga pemasyarakatan. Psikiater dan psikolog yang terlibat erat dengan pengadilan dan ranah hukum sering disebut sebagai psikiater forensik atau psikolog forensik.
Konsep dan teori psikiatri kerap dianggap sebagai bagian dari bidang psikologi. Namun, kedua profesi ini sering memiliki sudut pandang yang berbeda dan menempuh pendekatan yang berbeda pula dalam menjelaskan perilaku kriminal. Sebagian dari perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan. Tidak seperti psikolog yang menempuh gelar Ph.D., Psy.D., atau Ed.D. serta menjalani pelatihan khusus dalam bidang penelitian dan psikologi, psikiater terlebih dahulu meraih gelar kedokteran (MD atau DO) dan menyelesaikan magang medis seperti dokter lainnya. Setelah itu, mereka mengikuti program residensi selama rata-rata empat tahun di bidang psikiatri, dengan pelatihan khusus yang sering difokuskan pada diagnosis dan penanganan individu dalam konteks forensik, seperti di klinik pengadilan atau rumah sakit jiwa khusus bagi pelaku tindak pidana yang mengalami gangguan jiwa. Wajar jika pelatihan kedokteran ini mendorong pendekatan biokimia dan neurologis dalam menjelaskan perilaku manusia, dan hal ini pun tercermin dalam teori-teori psikiatris tentang perilaku kriminal.
Sebaliknya, psikolog yang ingin bersertifikat dan berlisensi sebagai psikolog klinis atau konseling harus menjalani magang satu tahun dengan fokus pada pelatihan klinis, termasuk metode diagnosis dan teknik penanganan berbagai gangguan psikologis. Pelatihan ini sering diikuti oleh program pascadoktoral selama satu hingga tiga tahun kadang lebih lama yang mencakup aspek penelitian dan praktik. Fokus utama dari pelatihan ini biasanya lebih menekankan pada aspek kognitif (proses berpikir), perkembangan, dan perilaku yang dipelajari, serta lebih sedikit pada pengaruh biokimia atau neurologis. Namun demikian, seperti telah dijelaskan sebelumnya, aspek biologis kini semakin banyak mendapat perhatian dalam ilmu perilaku, dan semakin banyak psikolog yang mengikuti pelatihan dengan pendekatan biologis. Misalnya, psikolog neuroklinis (clinical neuropsychologists) mendapatkan pelatihan mendalam mengenai aspek neurologis dan kognitif dari cedera maupun penyakit.
Psikiater adalah dokter medis dan, karena itu, memiliki kewenangan untuk meresepkan obat, terutama obat-obatan psikoaktif. Obat psikoaktif adalah kelompok obat yang berdampak besar terhadap proses psikologis, seperti emosi dan kondisi mental. Saat ini, sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat belum memberikan kewenangan resep kepada psikolog. Pada tahun 2002, New Mexico menjadi negara bagian pertama di AS yang mengizinkan psikolog dengan pelatihan tertentu untuk meresepkan obat psikoaktif (obat yang dirancang untuk menangani masalah psikologis). Louisiana menjadi negara bagian kedua pada tahun 2004; mereka yang memenuhi syarat disebut sebagai psikolog medis (medical psychologists). Pada tahun 2014, Illinois menjadi negara bagian ketiga yang memberikan kewenangan terbatas kepada psikolog klinis tertentu dengan pelatihan lanjutan. Namun, kewenangan ini terbatas, misalnya mereka tidak dapat meresepkan obat kepada anak-anak, remaja, orang dewasa berusia 66 tahun ke atas, atau kelompok tertentu seperti ibu hamil atau individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan.
Psikolog di lingkungan militer juga memiliki kewenangan meresepkan obat. Namun demikian, dua belas negara bagian telah menolak pemberian kewenangan tersebut, dan hingga kini tampaknya tidak banyak upaya baru untuk memperluas kewenangan tersebut. Kalangan medis yang berpengaruh sering kali menentang pemberian kewenangan resep kepada psikolog, dengan alasan bahwa hal itu bisa disalahgunakan dan dapat menurunkan kualitas perawatan. Bahkan di kalangan psikolog sendiri, terdapat perbedaan pendapat. Namun, survei menunjukkan bahwa sebagian besar psikolog mendukung pemberian kewenangan resep kepada mereka yang menginginkannya dan telah mendapat pelatihan yang sesuai, terutama karena hal ini dapat meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental bagi orang-orang yang mungkin kesulitan mendapatkannya (Ax et al., 2007; Baird, 2007). Meski demikian, ada pula kekhawatiran bahwa hal ini dapat menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada penggunaan obat dalam penanganan gangguan mental.
Di masa lalu, kriminologi psikiatrik secara tradisional mengikuti aliran Freud, yaitu pendekatan psikoanalitik atau psikodinamik. Tokoh utama teori psikoanalitik perilaku manusia adalah dokter saraf Sigmund Freud (1856–1939), dan para pengikutnya dikenal sebagai kaum Freudian. Banyak psikoanalis masa kini menganut versi yang dimodifikasi dari pandangan Freudian ortodoks dan karenanya disebut neo-Freudian. Ada pula psikoanalis yang mengikuti gagasan Alfred Adler dan Carl Jung, yang berpisah dari Freud dan mengembangkan teori berbeda mengenai kondisi manusia. Salah satu tokoh psikoanalis paling berpengaruh di masa modern adalah Erik Erikson, yang mengembangkan teori perkembangan yang mencakup delapan tahap perkembangan berurutan. Menurut Erikson, identitas ego dicapai secara bertahap melalui pencapaian tujuan positif dan menghadapi risiko negatif pada setiap tahap kehidupan. Tingkat pencapaian identitas ego atau sejauh mana seseorang berhasil melewati berbagai tahap tersebut dapat memengaruhi kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal. Namun, psikiater kontemporer yang tertarik mempelajari perilaku kriminal kini lebih jarang yang berpandangan psikoanalitik. Banyak dari mereka yang berorientasi pada penelitian dan bekerja dalam tim bersama psikolog serta profesional kesehatan mental lainnya. Psikiater dengan beberapa pengecualian (misalnya Szasz, 1974, dan para pengikutnya) umumnya sangat dipengaruhi oleh model medis dalam memahami penyakit mental. Sebagian besar dari mereka merujuk pada kategori diagnostik yang dicantumkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5 (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (2013), atau sistem serupa seperti International Classification of Disease (ICD) yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Seperti yang akan dibahas dalam bab-bab berikutnya, beberapa diagnosis dikaitkan dengan jenis kejahatan tertentu, namun hal ini tidak berarti bahwa individu dengan gangguan mental lebih cenderung melakukan kejahatan dibandingkan mereka yang tidak didiagnosis. Selain itu, dalam kasus di mana kejahatan dilakukan oleh individu dengan gangguan mental, kemungkinan besar terdapat faktor risiko lain yang menyertainya seperti penyalahgunaan zat atau riwayat kekerasan sebelum munculnya gangguan mental (Peterson, Skeem, Kennealy, Bray, & Zvonkovic, 2014). Para peneliti memperkirakan bahwa kurang dari 10 persen kejahatan yang dilakukan oleh individu dengan gangguan mental benar-benar disebabkan oleh gangguan tersebut (Peterson et al., 2014).
Halaman 34