Teori-teori Kejahatan

Dalam percakapan sehari-hari, istilah “teori” sering digunakan secara longgar. Kata ini bisa merujuk pada pengalaman pribadi, pengamatan, kepercayaan tradisional, sekumpulan opini, atau kumpulan pemikiran abstrak. Hampir semua orang memiliki teori pribadi tentang perilaku manusia, termasuk perilaku kriminal. Misalnya, sebagian orang memiliki teori pribadi bahwa dunia ini adalah tempat yang adil, di mana setiap orang mendapatkan apa yang layak mereka terima. Orang-orang ini disebut sebagai just-worlders penganut dunia yang adil dan percaya bahwa segala sesuatu tidak terjadi tanpa alasan yang berkaitan erat dengan tindakan individu tersebut. Sebagai contoh, mereka mungkin beranggapan bahwa seseorang yang mengalami kesulitan keuangan kemungkinan besar telah menyebabkan kesulitannya sendiri. Pada tahun 2008–2009, ketika banyak pemilik rumah di Amerika Serikat mengalami penyitaan karena tidak mampu membayar cicilan hipotek yang tinggi, seorang just-worlder cenderung menganggap hal itu lebih merupakan kesalahan si pemilik rumah daripada kesalahan petugas bank yang menawarkan bunga tinggi.

Dalam konteks kejahatan, seorang just-worlder mungkin percaya bahwa seorang pencuri layak menerima hukuman berat, namun juga beranggapan bahwa korban kurang berhati-hati dalam melindungi harta bendanya. Karena dunia dianggap adil, maka pasangan yang dianiaya pasti telah memancing kemarahan pasangannya. Atau, seseorang yang mengirim uang muka $500 untuk mengklaim hadiah jutaan dolar harusnya sudah tahu: jika terdengar terlalu bagus untuk jadi kenyataan, maka mungkin memang tidak benar adanya.

Kepercayaan-kepercayaan tersebut merupakan bentuk “teori” atau asumsi individu tentang bagaimana dunia bekerja. Namun, para psikolog juga telah mengembangkan teori ilmiah yang lebih kompleks berdasarkan gagasan dunia yang adil (just-world), serta merancang alat ukur untuk menilai orientasi seseorang terhadap keyakinan ini (Lerner, 1980; Lerner & Miller, 1978). Berbagai hipotesis sering disebut sebagai just-world hypothesis telah diajukan dan diuji. Misalnya, orang-orang yang tergolong sebagai just-worlders berdasarkan hasil pengukurannya cenderung mendukung hukuman mati dan tidak mendukung banyak program sosial yang bertujuan mengurangi kesenjangan ekonomi antar kelompok sosial (Sutton & Douglas, 2005).

Menariknya, penelitian terkini tentang teori dunia yang adil mengidentifikasi dua jalur utama: keyakinan terhadap dunia yang adil secara umum, dan keyakinan terhadap dunia yang adil secara pribadi (Dalbert, 1999; Sutton & Douglas, 2005). Keyakinan terhadap dunia yang adil secara pribadi (“Saya biasanya mendapatkan apa yang saya pantas terima”) dianggap adaptif dan membantu seseorang menghadapi situasi sulit dalam hidup. Misalnya, Dalbert dan Filke (2007) menemukan bahwa narapidana dengan orientasi pribadi terhadap dunia yang adil menilai pengalaman di penjara secara lebih positif dan melaporkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki orientasi tersebut. Namun, keyakinan terhadap dunia yang adil secara umum cenderung bermasalah karena berhubungan dengan rendahnya empati terhadap orang lain dan bahkan kecenderungan menyalahkan korban kejahatan.

Teori ilmiah seperti yang disebutkan di atas didasarkan pada logika dan penelitian, namun kompleksitasnya sangat beragam. Teori ilmiah didefinisikan sebagai “sekumpulan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang saling terkait yang menyajikan pandangan sistematis terhadap suatu fenomena dengan menetapkan hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut” (Kerlinger, 1973, hlm. 9). Maka, teori ilmiah tentang kejahatan seharusnya memberikan penjelasan umum yang mencakup dan menghubungkan secara sistematis berbagai variabel sosial, ekonomi, dan psikologis dengan perilaku kriminal, serta didukung oleh riset yang valid dan terpercaya. Istilah-istilah dalam teori ilmiah juga harus sejelas dan setepat mungkin, agar dapat diuji secara bermakna melalui pengamatan dan analisis. Proses pengujian teori ini disebut verifikasi teori. Jika teori tidak terverifikasi atau ada salah satu proposisinya yang gagal diuji maka hasil akhirnya adalah falsifikasi (Popper, 1968). Sebagai contoh, teori pelecehan seksual terhadap anak yang menyatakan bahwa semua pelaku adalah korban pelecehan masa kecil akan langsung terbantahkan jika ditemukan satu pelaku yang tidak pernah mengalami pelecehan di masa kecil.

Tujuan utama dari teori-teori tentang kejahatan adalah untuk mengidentifikasi penyebab atau faktor pendahulu dari perilaku kriminal. Beberapa teori bersifat luas dan menyeluruh, sedangkan yang lain lebih sempit dan spesifik. Secara umum, teori perilaku kriminal merupakan pernyataan ringkas dari rangkaian temuan penelitian. Yang lebih penting lagi, teori-teori ini memberikan arahan untuk penelitian selanjutnya. Jika ada komponen dari suatu teori yang terbantahkan, teori tersebut tidak serta-merta ditolak seluruhnya. Teori bisa dimodifikasi dan diuji ulang. Selain itu, setiap teori kejahatan memiliki implikasi kebijakan yang memengaruhi keputusan masyarakat dalam mencegah kejahatan.

Dalam beberapa dekade terakhir, banyak peneliti tertarik mengembangkan model yang menyertai teori-teori tersebut. Model merupakan representasi grafis dari suatu teori atau konsep yang dirancang untuk memperjelas pemahaman. Sepanjang buku ini, akan ditemukan berbagai model yang berkaitan dengan perilaku kriminal dan kenakalan.

Meskipun model termasuk perkembangan baru, teori kejahatan sendiri telah ada selama berabad-abad. Pada abad ke-18, filsuf Italia Cesare Beccaria (1738–1794) mengembangkan teori bahwa perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh pilihan sadar dengan mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh dan hukuman yang mungkin diterima. Beccaria berpendapat bahwa untuk mengurangi atau mencegah kejahatan dalam suatu masyarakat, hukuman harus diberikan dengan cepat, pasti, dan cukup berat untuk menghalangi tindakan kriminal yang menggoda. Jika orang menyadari bahwa hukuman berat akan segera dijatuhkan tanpa memandang status sosial atau hak istimewa mereka mereka akan memilih untuk tidak melakukan perbuatan ilegal. Pemikiran teoritis ini, yang menekankan kehendak bebas sebagai dasar perilaku manusia, dikenal sebagai teori klasik. Baik hukum pidana maupun hukum perdata berakar pada keyakinan bahwa individu adalah pengendali nasibnya sendiri dan memiliki kebebasan memilih. Banyak pendekatan pencegahan kejahatan saat ini yang sejalan dengan teori klasik, yang dalam bentuk modernnya dikenal sebagai teori pencegahan (deterrence theory) (Nagin, 2007). Misalnya, kamera pengawas di jalan, kamera badan pada polisi, dan hukuman berat didasarkan pada anggapan bahwa seseorang memilih untuk melakukan kejahatan, tetapi bisa dicegah jika dihadapkan pada ancaman penangkapan atau hukuman penjara yang lama. Namun, meskipun seseorang tidak jera dengan ancaman hukuman berat, mereka tetap harus dihukum karena perbuatannya dianggap sebagai hasil dari kehendak bebas.

Aliran pemikiran lain berasal dari teori positivis, yang sangat terkait dengan gagasan determinisme. Dalam pandangan ini, kehendak bebas bukanlah penjelasan utama atas perilaku kita. Faktor-faktor sebelumnya pengalaman atau pengaruh masa lalu menentukan bagaimana kita akan bertindak. Teori-teori awal dalam aliran positivis menekankan faktor biologis seperti jenis kelamin, ras, bahkan ukuran otak seseorang. Salah satu tokoh awal dari pendekatan ini, Cesare Lombroso (1876), melakukan pengukuran terhadap tengkorak narapidana, baik yang hidup maupun telah meninggal, dan menarik kesimpulan tentang kecenderungan kriminal mereka. Kemudian, para positivis lebih fokus pada faktor sosial, seperti pengalaman masa kecil yang negatif atau kurangnya kesempatan pendidikan. Menurut aliran positivis, perilaku manusia dikendalikan oleh hukum sebab-akibat, dan kehendak bebas bukanlah faktor utama. Banyak teori kriminologi kontemporer mengikuti pendekatan positivis karena berusaha mencari penyebab di luar kehendak bebas. Selain itu, banyak pendekatan pencegahan kejahatan yang sejalan dengan orientasi ini: mereka berusaha “memperbaiki” faktor-faktor penyebab kejahatan, misalnya dengan menyediakan layanan dukungan bagi remaja yang dianggap berisiko melakukan kejahatan.

Singkatnya, pandangan klasik tentang kejahatan menyatakan bahwa keputusan untuk melanggar hukum sebagian besar merupakan hasil dari kehendak bebas. Sementara itu, perspektif positivis atau deterministik menyatakan bahwa sebagian besar perilaku kriminal disebabkan oleh pengaruh sosial, psikologis, dan bahkan biologis. Pendekatan ini tidak menafikan pentingnya kehendak bebas dan tidak berarti individu tidak bertanggung jawab atas tindakannya, namun menekankan bahwa tindakan tersebut bisa dijelaskan oleh lebih dari sekadar pilihan bebas. Maka dari itu, perspektif ini berupaya mengidentifikasi penyebab, memprediksi dan mencegah perilaku kriminal, serta merehabilitasi (atau membina) pelaku kejahatan.