Perspektif Teoretis tentang Hakikat Manusia

Semua teori tentang kejahatan memiliki asumsi dasar atau sudut pandang tertentu mengenai hakikat manusia. Terdapat tiga perspektif utama yang dapat diidentifikasi.

1. Perspektif Konformitas

Perspektif ini memandang manusia sebagai makhluk yang cenderung patuh dan ingin melakukan hal yang “benar”. Dalam banyak hal, asumsi ini menjadi dasar dari perspektif humanistik dalam psikologi. Manusia dipandang sebagai individu yang pada dasarnya “baik” dan berupaya hidup secara optimal. Dalam ranah psikologi, pendekatan ini selaras dengan cabang “psikologi positif” yang meneliti karakteristik individu yang membuat hidup menjadi bermakna, seperti rasa puas dan kedekatan emosional (Peterson, 2006; Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Contoh yang baik dari perspektif konformitas dalam kriminologi adalah teori strain (ketegangan) yang dipelopori oleh sosiolog Robert K. Merton (1957) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Robert Agnew (1992, 2006) serta para pengikutnya. Teori strain awal Merton menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang patuh, yang dipengaruhi secara kuat oleh nilai-nilai dan sikap masyarakat tempat mereka hidup. Singkatnya, mayoritas anggota masyarakat menginginkan hal yang sama seperti anggota lainnya. Di banyak budaya, akumulasi kekayaan dan status dianggap penting dan menjadi simbol yang perlu dikejar. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang setara terhadap tujuan tersebut. Ada yang didukung oleh pendidikan, jaringan sosial, relasi pribadi, dan pengaruh keluarga, tetapi ada juga yang tidak memiliki peluang tersebut.

Maka dari itu, teori strain Merton memprediksi bahwa kejahatan dan kenakalan akan muncul ketika ada kesenjangan antara nilai-nilai materialistik yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dengan ketersediaan sarana sah untuk mencapainya. Ketegangan antara tujuan (kekayaan dan kekuasaan) dengan sarana yang tersedia menimbulkan tekanan. Individu atau kelompok yang mengalami tekanan ini akan dihadapkan pada pilihan: melanggar norma dan hukum demi mencapai tujuan tersebut, menyerah pada impiannya, menarik diri dari masyarakat, atau memberontak. Meskipun teori strain awalnya dikembangkan dalam konteks masyarakat Amerika, ia dapat diterapkan secara global.

Setelah karya awal Merton, beberapa ahli teori strain lainnya menyoroti bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan berkuasa juga bisa dijelaskan melalui teori strain. Meskipun mereka memiliki akses terhadap sarana sah, mereka tetap terdorong untuk terus mengakumulasi kekayaan dan mempertahankan status sosial mereka (Messner & Rosenfeld, 1994).

Dalam Teori Strain Umum (General Strain Theory) yang dikembangkan oleh Agnew (1992), istilah “strain” digunakan dengan makna yang sedikit berbeda, yakni sebagai kondisi atau peristiwa yang tidak disukai individu. Ketidakmampuan mencapai tujuan hanyalah satu contoh; lainnya meliputi kehilangan sesuatu yang bernilai atau diperlakukan buruk oleh orang lain (2006). Teori ini terus diuji dan dievaluasi, serta akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 5. Namun yang penting untuk dicatat di sini adalah bahwa teori ini masih termasuk dalam payung besar teori strain dan mewakili perspektif konformitas terhadap hakikat manusia.

2. Perspektif Nonkonformitas

Perspektif ini mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang tidak disiplin. Tanpa aturan dan regulasi masyarakat, mereka cenderung melanggar norma dan melakukan kejahatan secara sembarangan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang “liar” atau menyimpang dan harus dikendalikan.

Sebagai contoh, teori-teori biologis dan neurobiologis (dibahas dalam Bab 3) menyoroti adanya ciri atau kekurangan biologis tertentu yang membuat sebagian individu cenderung bertingkah laku antisosial, termasuk tindakan agresif. Dalam beberapa tahun terakhir, para kriminolog menekankan pentingnya faktor biologis sebagai salah satu elemen yang perlu diperhitungkan, meskipun bukan sebagai penentu tunggal (DeLisi, 2009). Faktor ini bisa hadir sejak lahir atau berkembang selama masa kanak-kanak. Namun, perlu dicatat bahwa perspektif nonkonformitas tidak serta-merta menyalahkan individu atas penyimpangan mereka. Beberapa ahli meyakini bahwa perilaku seperti agresi dapat dipicu oleh malnutrisi atau paparan elemen berbahaya dalam lingkungan. Ilustrasi lain dari perspektif nonkonformitas adalah teori kontrol sosial dari Travis Hirschi (1969). Teori ini menyatakan bahwa kejahatan dan kenakalan terjadi ketika ikatan individu dengan tatanan sosial atau norma masyarakat lemah atau tidak ada. Dengan kata lain, proses sosialisasi yang seharusnya mengendalikan sifat dasar manusia belum sempurna atau gagal. Manusia dipandang pada dasarnya “buruk”, “antisosial”, atau setidaknya “tidak sempurna”, dan kecenderungan bawaan ini harus dikendalikan oleh masyarakat.

Bersama dengan Michael Gottfredson, Hirschi kemudian mengembangkan Teori Umum Kejahatan (General Theory of Crime) atau Teori Pengendalian Diri (Self-Control Theory) pada tahun 1990. Teori ini menyatakan bahwa kekurangan pengendalian diri merupakan faktor utama penyebab kejahatan dan kenakalan. Salah satu aspek kontroversialnya adalah klaim bahwa pengendalian diri terbentuk sepenuhnya pada usia delapan tahun dan tidak banyak berubah setelahnya. Beberapa peneliti menentang gagasan ini dan menunjukkan bahwa pengendalian diri dapat berkembang di usia yang lebih dewasa (misalnya Arnett, 2000; Sweeten & Simons, 2014; Zimmermann & Iwanski, 2014).

3. Perspektif Pembelajaran (Learning Perspective)

Perspektif ini memandang manusia sebagai makhluk yang lahir netral tidak secara bawaan cenderung taat ataupun menyimpang dan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pembelajaran sepanjang hidupnya. Perspektif ini menyatakan bahwa perilaku, kepercayaan, dan kecenderungan manusia dipelajari dari lingkungan sosialnya.

Contoh utama dari pendekatan ini adalah teori pembelajaran sosial dan teori asosiasi diferensial dari sosiolog Edwin H. Sutherland (1947). Teori pembelajaran sosial menekankan pentingnya peniruan terhadap model dan penguatan (reinforcement) yang diperoleh dari suatu perilaku. Menurut teori asosiasi diferensial, perilaku kriminal dipelajari, sebagaimana perilaku sosial lainnya, melalui interaksi dengan orang lain. Kejahatan bukanlah hasil dari gangguan emosional, penyakit mental, atau sifat bawaan “baik” atau “buruk”, melainkan dari pesan-pesan yang diterima dari individu lain yang juga telah belajar menjadi kriminal. Dengan kata lain, pepatah “bergaul dengan teman yang buruk akan membuat kita ikut buruk” mendapat pembenaran melalui teori ini.

Sejak pertengahan abad ke-20, banyak kriminolog mengadopsi pendekatan perkembangan (developmental approach) yang melihat kejahatan dan perilaku antisosial sebagai perilaku yang dimulai sejak masa kanak-kanak dan berlanjut hingga dewasa. Psikolog perkembangan membagi proses kehidupan manusia ke dalam beberapa tahap. Dalam kajian perilaku antisosial, tahap-tahap ini sering kali dikaji secara mendalam, khususnya masa dewasa awal (emerging adulthood) yakni usia sekitar 18 hingga akhir 20-an, dengan fokus pada usia 18–25 (Arnett, 2000, 2014). Masa ini dianggap sebagai periode pencarian jati diri, di mana seseorang sudah tidak lagi dikontrol oleh orang tua maupun institusi, tetapi belum sepenuhnya mandiri. Mereka mungkin masih mengeksplorasi pilihan hidup sambil berjuang mendapatkan status dewasa. Banyak dari mereka belum memiliki karier tetap atau pasangan hidup.

Kriminolog perkembangan juga mempelajari jalur kehidupan (“pathways”) menuju perilaku kriminal. Sebagian orang memulai perilaku antisosial sejak usia sangat dini, sementara yang lain baru melakukannya saat remaja atau dewasa. Mereka mengidentifikasi faktor risiko yang perlu dicegah dan faktor protektif yang perlu ditumbuhkan. Studi juga menunjukkan bahwa jalur kriminal antara laki-laki dan perempuan dapat berbeda, meskipun sejauh mana perbedaannya masih diperdebatkan. Kemungkinan juga terdapat perbedaan antar kelompok budaya, meskipun hal ini belum banyak dikaji seperti halnya perbedaan berdasarkan gender.

Tabel 1-1 merangkum ketiga perspektif utama konformitas, nonkonformitas, dan pembelajaran serta memberikan ilustrasi masing-masing. Meskipun kriminologi perkembangan tidak dapat dikategorikan secara pasti ke dalam salah satu dari tiga perspektif tersebut, ia paling cocok ditempatkan dalam perspektif pembelajaran. Namun, unsur dari ketiga perspektif tetap dapat ditemukan dalam penelitian dan tulisan para kriminolog perkembangan (misalnya Farrington, Ttofi, & Coid, 2009; Le Blanc & Loeber, 1998; Moffitt, 1993a, 1993b; Odgers et al., 2008; Patterson, 1982). Teori-teori ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 6.