Pasal 377 ayat (2) KUHP Lama menyatakan:
“Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencarian maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.”
Pasal 491 ayat (2) KUHP Baru menyatakan:
“Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesinya, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.”
Pasal 86 KUHP Baru:
Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
d. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan Anaknya sendiri;
e. hak menjalankan Kekuasaan Ayah, menjalankan perwalian, atau mengampu atas Anaknya sendiri;
f. hak menjalankan profesi tertentu; dan/ atau
g. hak memperoleh pembebasan bersyarat.
Fungsi dan Tujuan Normatif
Pasal 377 ayat (2) KUHP Lama memberikan dasar bagi hakim untuk mencabut hak seorang terpidana dalam menjalankan pencarian (yakni pekerjaan atau usaha nafkah) apabila kejahatan—khususnya penggelapan—dilakukan dalam rangka pencarian tersebut. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari risiko residivisme oleh pelaku yang menyalahgunakan profesinya atau pekerjaannya.
Pasal 491 ayat (2) KUHP Baru memperbarui ketentuan tersebut dengan mengatur bahwa apabila penggelapan dilakukan dalam menjalankan profesi, maka pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan profesi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 86 huruf f. Hal ini menguatkan perlindungan publik terhadap penyalahgunaan kepercayaan dalam profesi tertentu yang memiliki dampak luas.
Terminologi: “Pencarian” vs “Profesi”
KUHP Lama menggunakan istilah “pencarian”, sebuah istilah klasik yang cakupannya luas namun tidak memiliki batasan hukum yang jelas. Istilah ini bisa mencakup segala bentuk pekerjaan atau aktivitas ekonomi, termasuk yang tidak berbadan hukum atau tidak terdaftar.
Sebaliknya, KUHP Baru menggantinya dengan istilah “profesi”, yang secara hukum lebih terdefinisi dan terstandarisasi. “Profesi” merujuk pada pekerjaan yang umumnya menuntut keahlian khusus, tunduk pada kode etik tertentu, dan dapat diatur oleh lembaga profesi seperti organisasi advokat, konsil kedokteran, dan sebagainya.
Perubahan ini menunjukkan modernisasi dan presisi hukum, serta memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum dan hakim dalam menetapkan hukuman tambahan secara proporsional.
Penerapan Pidana Tambahan dalam KUHP Baru
Dalam KUHP Baru, pidana tambahan diatur secara menyeluruh melalui Pasal 66 ayat (1) dan secara rinci dijabarkan dalam Pasal 86. Ketentuan pencabutan hak menjalankan profesi tertentu (huruf f) menjadi dasar hukum untuk menjatuhkan pidana tambahan terhadap pelaku yang menyalahgunakan keahliannya untuk melakukan tindak pidana, termasuk penggelapan.
Hal ini menjadikan sistem pemidanaan lebih terstruktur, transparan, dan proporsional, serta memungkinkan pengadilan menjatuhkan sanksi tambahan yang sesuai dengan karakter dan tingkat kesalahan pelaku.
Kesimpulan: Modernisasi dan Kepastian Hukum
Perbandingan antara KUHP Lama dan KUHP Baru menunjukkan bahwa meskipun substansi hukumnya tetap sama, yaitu memberikan sanksi tambahan terhadap pelaku penggelapan dalam kapasitas profesional, KUHP Baru telah membawa banyak penyempurnaan dalam bentuk:
- Bahasa hukum yang lebih tegas dan kontekstual;
- Sistematika yang lebih terintegrasi dalam sistem pemidanaan nasional;
- Ketentuan pidana tambahan yang lebih rinci dan operasional.
Secara keseluruhan, KUHP Baru memperkuat fungsi perlindungan masyarakat, menjaga integritas profesi, dan memperluas ruang keadilan restoratif melalui fleksibilitas bentuk pidana.
Contoh Kasus: Penggelapan Dana oleh Akuntan Publik
Kronologi Singkat:
Seorang akuntan publik bernama Andi, yang telah terdaftar dan memiliki izin praktik resmi dari asosiasi profesi, ditugaskan oleh sebuah perusahaan klien untuk menyusun laporan keuangan tahunan. Dalam prosesnya, Andi secara sistematis memindahkan sebagian dana klien ke rekening pribadinya dengan dalih sebagai biaya operasional tambahan, yang tidak pernah dilaporkan secara resmi.
Setelah audit internal dan pelaporan ke kepolisian, Andi ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana penggelapan (dalam jabatan/profesi). Kasus ini kemudian diajukan ke pengadilan.
Analisis Berdasarkan KUHP Lama (Pasal 377 ayat (2))
Hakim dapat mempertimbangkan pencabutan hak Andi untuk menjalankan pencariannya sebagai akuntan, karena kejahatan dilakukan dalam rangka pencarian itu. Namun, karena istilah “pencarian” dalam KUHP Lama tidak dijelaskan secara rinci, terdapat celah interpretasi terkait apakah akuntan termasuk dalam kategori tersebut, dan berapa lama hak tersebut dapat dicabut.
Analisis Berdasarkan KUHP Baru (Pasal 491 ayat (2) jo. Pasal 86 huruf f)
Hakim memiliki dasar hukum yang lebih jelas untuk menjatuhkan pidana tambahan kepada Andi berupa pencabutan hak menjalankan profesi sebagai akuntan publik, berdasarkan:
- Pasal 491 ayat (2): Tindak pidana dilakukan dalam menjalankan profesi.
- Pasal 86 huruf f: Hak untuk menjalankan profesi tertentu dapat dicabut.
Selain itu, pengadilan juga dapat mempertimbangkan kewajiban membayar ganti rugi kepada korban, atau pemenuhan bentuk keadilan restoratif lain seperti permintaan maaf terbuka atau kompensasi tambahan sesuai norma sosial atau adat tertentu (bila relevan).
Kesimpulan dari Contoh Kasus
Di bawah KUHP Lama, sanksi pencabutan hak kurang operasional dan bisa menimbulkan ketidakpastian.
Di bawah KUHP Baru, sanksi pencabutan hak lebih tegas, terukur, dan proporsional, sekaligus memberikan perlindungan bagi profesi dan masyarakat dari penyalahgunaan kepercayaan.
