Pasal 377 ayat (1) KUHP Lama Menyatakan:
Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 372 (Penggelapan), 374 (Penggelapan Karena Hubungan Kerja), dan 375 (Penggelapan Oleh Pengampu, Pengurus atau Pelaksana Surat Wasiat) hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak berdasarkan pasal 35 Nomor 1 – 4.
Pasal 35 KUHP Lama menyatakan:
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
- hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
- hak memasuki Angkatan Bersenjata;
- hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
- aturan-aturan umum.
- hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal 491 ayat (1) KUHP Baru menyatakan:
Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 (Penggelapan), Pasal 488 (Penggelapan Karena Hubungan Kerja), atau Pasal 489 (Penggelapan Oleh Pengampu, Pengurus atau Pelaksana Surat Wasiat), dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dan pencabutan hak satu atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86.
Pasal 66 ayat (1) KUHP Baru:
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti nrgi;
e. pencabutan izin tertentu; dan
f. pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pasal 86 KUHP Baru menyatakan:
Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
d. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan Anaknya sendiri;
e. hak menjalankan Kekuasaan Ayah, menjalankan perwalian, atau mengampu atas Anaknya sendiri;
f. hak menjalankan profesi tertentu; dan/ atau
g. hak memperoleh pembebasan bersyarat.
Pidana Tambahan dalam Penggelapan: Ketentuan KUHP Lama
Pasal 377 ayat (1) KUHP Lama memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan penggelapan tertentu, yaitu yang diatur dalam Pasal 372, 374, dan 375 KUHP Lama. Pidana tambahan tersebut berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak-hak tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP Lama. Hak-hak yang dapat dicabut meliputi hak memegang jabatan (secara umum maupun jabatan tertentu), hak menjadi anggota Angkatan Bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, serta hak menjadi wali atau pengurus atas penetapan pengadilan.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa bagi pelaku penggelapan yang menyalahgunakan posisi atau kepercayaan yang melekat padanya, pemidanaan tidak hanya bersifat punitif (pidana pokok), tetapi juga preventif, yaitu dengan mencabut hak untuk menduduki posisi serupa di kemudian hari.
Pembaruan Ketentuan Pidana Tambahan dalam KUHP Baru
Pasal 491 ayat (1) KUHP Baru menggantikan dan memperbarui ketentuan Pasal 377 KUHP Lama dengan redaksi yang lebih sistematis. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 (penggelapan umum), Pasal 488 (penggelapan karena hubungan kerja), dan Pasal 489 (penggelapan oleh wali, pengurus atau pelaksana surat wasiat, dan pengurus yayasan), dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak tertentu.
Ketentuan ini merujuk ke Pasal 66 ayat (1) KUHP Baru yang mengatur jenis-jenis pidana tambahan secara umum, serta Pasal 86 yang secara rinci menjabarkan hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim. Hal ini mencerminkan struktur kodifikasi yang lebih terpusat dan konsisten, serta memungkinkan penerapan sanksi tambahan yang lebih sistematis dan proporsional.
Daftar Pidana Tambahan dan Hak yang Dapat Dicabut
Dalam KUHP Baru, pidana tambahan sebagaimana dimuat dalam Pasal 66 ayat (1) meliputi:
a) pencabutan hak tertentu,
b) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan,
c) pengumuman putusan hakim,
d) pembayaran ganti rugi,
e) pencabutan izin tertentu, dan
f) pemenuhan kewajiban adat setempat.
Sementara itu, Pasal 86 KUHP Baru menetapkan bahwa pencabutan hak tertentu dapat meliputi:
a) hak memegang jabatan publik (umum atau tertentu),
b) hak menjadi anggota TNI dan Polri,
c) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum,
d) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri.
Ini merupakan penyempurnaan dari daftar hak yang tercantum dalam Pasal 35 KUHP Lama, dengan menyesuaikan istilah serta menambahkan cakupan institusional dalam konteks negara modern.
Perbandingan dan Implikasi Hukum
Dari perbandingan antara Pasal 377 KUHP Lama dan Pasal 491 KUHP Baru, dapat disimpulkan bahwa substansi pengaturan pidana tambahan dalam konteks penggelapan tetap dipertahankan, namun sistematika dan fleksibilitas penerapannya ditingkatkan. KUHP Baru menyusun pidana tambahan dalam sistem klasifikasi umum yang berlaku lintas jenis tindak pidana, bukan hanya pada tindak pidana penggelapan saja.
Dengan sistem yang lebih terstruktur ini, hakim memiliki ruang diskresi yang lebih luas dan terukur dalam menjatuhkan pidana tambahan, terutama terhadap pelaku yang menyalahgunakan kepercayaan publik atau jabatan strategis. Selain itu, pidana tambahan kini tidak hanya bersifat pembatasan hak, tetapi juga membuka peluang untuk pemulihan kerugian korban dan tanggung jawab sosial melalui bentuk pidana tambahan lainnya seperti pembayaran ganti rugi dan kewajiban adat setempat.
