Perbandingan Pasal 356 KUHP Lama dan Pasal 470 KUHP Baru Tentang Pemberatan dalam Tindak Pidana Penganiayaan

KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht)

Pasal 356 KUHP Lama

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:

  • bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;
  • jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
  • jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

KUHP Baru (UU Nomor 1 Tahun 2023)

Pasal 470 KUHP Baru

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 466 sampai dengan Pasal 469, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu pertiga), jika Tindak Pidana tersebut dilakukan:

  • terhadap Pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
  • dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan; atau
  • terhadap ibu atau Ayah.

Perbandingan Struktur dan Ruang Lingkup Pasal

Pasal 356 KUHP Lama merupakan pasal pemberat pidana untuk tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 sampai dengan 355.

Dalam hal ini, jika penganiayaan dilakukan terhadap subjek-subjek tertentu atau dengan cara tertentu, maka pidana pokok dapat ditambah hingga sepertiga.

Sementara itu, Pasal 470 KUHP Baru juga memuat ketentuan serupa, yakni pemberatan pidana hingga sepertiga, namun hanya berlaku untuk tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 466 sampai dengan 469, yang merupakan pasal-pasal baru yang mengatur tindak pidana terhadap tubuh dalam sistematika KUHP baru.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun substansi hukumnya masih ada kesinambungan, KUHP Baru memiliki penyesuaian dalam struktur dan pengelompokan norma hukum.

Perbandingan Subjek Korban yang Diperlakukan Sebagai Alasan Pemberat

Salah satu perbedaan yang paling mencolok terletak pada subjek korban yang dapat memperberat pidana. Dalam KUHP Lama, pidana dapat ditambah jika penganiayaan dilakukan terhadap orang tua yang sah (ibu atau ayah), istri, atau anak.

Namun dalam KUHP Baru, daftar ini dipersempit hanya kepada ibu atau ayah, tanpa menyebut istri dan anak. Ini menandakan adanya pergeseran fokus dalam pemberian perlindungan hukum, dari pendekatan yang berbasis relasi rumah tangga, menjadi pendekatan berbasis peran atau fungsi sosial yang lebih umum.

Perbandingan Perlindungan terhadap Pejabat dan Cara Melakukan Kejahatan

Baik KUHP Lama maupun KUHP Baru sama-sama memberikan pemberatan pidana jika penganiayaan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah. Ini menunjukkan adanya kesinambungan perlindungan terhadap otoritas negara.

Selain itu, keduanya juga menyatakan bahwa apabila penganiayaan dilakukan dengan cara memberikan bahan yang membahayakan bagi nyawa atau kesehatan (seperti racun dalam makanan atau minuman), maka pidana juga dapat diperberat.

Dengan demikian, KUHP Lama dan KUHP Baru tetap sejalan dalam aspek perlindungan terhadap pejabat negara dan bahaya yang ditimbulkan oleh cara melakukan tindak pidana.

Penjelasan Mengenai Alasan Penghilangan Istri dan Anak dalam KUHP Baru

Penghilangan istri dan anak sebagai subjek pemberatan pidana dalam Pasal 470 KUHP Baru bukan berarti perlindungan terhadap mereka diabaikan.

Sebaliknya, KUHP Baru mengarahkan perlindungan terhadap perempuan dan anak ke dalam pengaturan hukum yang lebih spesifik.

Misalnya, perlindungan terhadap istri dan anak dalam konteks kekerasan fisik atau psikis telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Bahkan dalam KUHP Baru sendiri, ada bab khusus yang membahas kekerasan dalam rumah tangga secara lebih detail.

Kesimpulan

Secara umum, meskipun Pasal 356 KUHP Lama dan Pasal 470 KUHP Baru sama-sama mengatur tentang pemberatan hukuman atas penganiayaan, KUHP Baru menunjukkan adanya perubahan pendekatan yang lebih tematik dan terfokus.

KUHP Baru berusaha menyederhanakan norma umum, sekaligus mengarahkan perlindungan terhadap kelompok rentan ke dalam undang-undang sektoral yang khusus membahas kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Perubahan ini menunjukkan upaya modernisasi sistem hukum pidana Indonesia agar lebih responsif terhadap perkembangan sosial dan kebutuhan perlindungan korban yang lebih tepat sasaran.