Tindak Pidana Korupsi Karena Menguntungkan Diri Sendiri dengan Penyalahgunaan Wewenang

Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

  1. “Setiap orang”

Frasa ini menegaskan bahwa subjek hukum dari tindak pidana ini tidak terbatas pada pejabat negara atau penyelenggara negara saja. Semua orang, termasuk pejabat, pegawai swasta, bahkan pihak ketiga yang diberi kuasa atau akses atas kewenangan tertentu, dapat dikenakan pasal ini. Meskipun unsur jabatan atau kedudukan muncul dalam frasa selanjutnya, ketentuan ini menunjukkan bahwa hukum pidana korupsi tidak bersifat diskriminatif dalam hal siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

  1. “Yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”

Unsur ini mencerminkan niat atau maksud (mens rea) dari pelaku. Perbuatan yang dilakukan harus memiliki tujuan tertentu, yaitu untuk memperoleh keuntungan, baik untuk diri sendiri, pihak lain (perorangan), maupun korporasi (badan hukum). Dengan demikian, unsur ini membedakan korupsi dari kelalaian administratif biasa. Kata “tujuan” di sini menunjukkan bahwa niat memperkaya tersebut merupakan motivasi utama di balik tindakan penyalahgunaan kewenangan.

  1. “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”

Frasa ini merupakan inti dari delik Pasal 3, yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan atau fasilitas jabatan. Penyalahgunaan ini bisa berupa:

Kewenangan, yaitu otoritas resmi yang dimiliki pelaku;

Kesempatan, yaitu akses yang tersedia karena posisi atau situasi;

Sarana, yaitu alat atau fasilitas yang diberikan dalam jabatan.

Kata “karena jabatan atau kedudukan” menunjukkan bahwa pelaku memperoleh akses terhadap kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut akibat posisi formal atau fungsionalnya. Pasal ini banyak digunakan untuk menjerat pejabat publik atau aparatur negara yang menggunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau golongan, sehingga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menjadi esensinya.

  1. “Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Seperti halnya dalam Pasal 2, unsur ini menuntut adanya dampak negatif, yaitu potensi kerugian terhadap:

Keuangan negara, yang mencakup APBN/APBD, aset BUMN/BUMD, dana publik;

Perekonomian negara, seperti kerusakan sistem perdagangan, investasi, perbankan, atau sektor strategis nasional.

Yang ditekankan bukan hanya kerugian yang nyata, tetapi juga kerugian yang dapat terjadi. Maka, perbuatan yang belum menimbulkan kerugian aktual tetapi sudah berisiko besar menciptakan kerugian pun dapat dipidana. Unsur ini menunjukkan bahwa pencegahan kerugian negara menjadi bagian dari logika pemidanaan dalam pasal ini.

  1. “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”

Bagian ini mengatur pidana pokok yang dapat dikenakan kepada pelaku. Opsi pidana terdiri dari:

Pidana penjara seumur hidup, atau

Pidana penjara waktu tertentu, dengan batas minimum 1 tahun dan maksimum 20 tahun.

Dibandingkan Pasal 2 yang memiliki minimum 4 tahun, ancaman dalam Pasal 3 sedikit lebih ringan. Namun demikian, karakteristik pidana seumur hidup tetap memperlihatkan bahwa perbuatan ini dianggap sangat serius, terutama karena berasal dari penyalahgunaan jabatan publik.

  1. “Dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Selain pidana penjara, pelaku juga dapat dijatuhi pidana denda, yang bersifat alternatif atau kumulatif. Artinya, hakim dapat memilih untuk menjatuhkan:

  • Hanya pidana penjara,
  • Hanya pidana denda, atau
  • Keduanya sekaligus.

Rentang denda dimulai dari Rp 50 juta hingga Rp 1 miliar. Fungsi pidana denda ini adalah pemulihan kerugian negara dan efek jera, terutama ketika hasil korupsi berbentuk keuntungan materiil. Dalam praktiknya, denda ini dapat digabungkan dengan pembayaran uang pengganti dan perampasan aset untuk memperkuat dampak pemidanaan.