Pasal 370 KUHP Lama menyatakan:
Pasal 370 KUHP Lama:
“Ketentuan pasal 367 (Tindak Pidana Pencurian oleh Anggota Keluarga) berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini (Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman oleh Anggota Keluarga).”
Pasal 367 KUHP Lama:
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini (Tindak Pidana Pencurian oleh Anggota Keluarga) adalah suami/istri dari korban dan tidak terpisah meja dan ranjang atau tidak terpisah harta kekayaan, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana.
(2) Jika mereka sudah terpisah ranjang/harta, atau jika pelaku adalah keluarga sedarah/semenda dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat kedua, maka penuntutan hanya bisa dilakukan atas dasar pengaduan.
(3) Dalam masyarakat matriarkal, kekuasaan ayah dapat dijalankan oleh orang lain, dan ketentuan ini tetap berlaku.
Pasal 484 KUHP Baru menyatakan:
Pasal 484 KUHP Baru:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 (Tindak Pidana Pencurian oleh Anggota Keluarga) berlaku juga bagi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 482 dan Pasal 483 (Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman oleh Anggota Keluarga).”
Pasal 481 KUHP Baru:
(1) Penuntutan pidana (Tindak Pidana Pencurian oleh Anggota Keluarga) tidak dilakukan jika pelaku adalah suami/istri dari korban dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau harta kekayaan.
(2) Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan korban jika pelaku adalah suami/istri yang telah terpisah, atau keluarga sedarah/semenda sampai derajat kedua dalam garis lurus atau menyamping.
(3) Dalam masyarakat matriarkat, pengaduan dapat diajukan oleh orang yang menjalankan kekuasaan ayah.
Fungsi Perluasan Ketentuan:
Pasal 370 KUHP Lama dan Pasal 484 KUHP Baru sama-sama berfungsi sebagai pasal pelimpahan atau perluasan penerapan dari ketentuan utama yang mengatur pengecualian penuntutan pidana berdasarkan hubungan keluarga.
- Pasal 370 KUHP Lama memperluas ketentuan Pasal 367 (Pencurian) ke Bab tentang Pemerasan dan Pengancaman, sehingga hubungan keluarga tertentu tetap menjadi alasan penghapusan atau pembatasan penuntutan dalam tindak pidana tersebut.
- Pasal 484 KUHP Baru memperluas ketentuan Pasal 481 (Pencurian) agar juga berlaku terhadap Pasal 482 dan 483, yang mengatur Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman.
Dengan demikian, mekanisme pengaduan dan pengecualian penuntutan karena hubungan kekeluargaan dalam pencurian juga diberlakukan pada pemerasan dan pengancaman.
Ketentuan Substantif yang Diperluas:
Pasal 367 KUHP Lama dan Pasal 481 KUHP Baru memuat substansi utama yang identik, yaitu:
- Tidak dapat dituntut apabila pelaku adalah suami/istri dari korban yang tidak terpisah tempat tinggal maupun harta kekayaan.
Dapat dituntut hanya atas pengaduan, jika:
- Suami/istri yang sudah terpisah meja dan ranjang atau harta;
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat kedua.
- Dalam sistem matriarkal, pengaduan tetap dimungkinkan oleh orang yang menjalankan kekuasaan ayah.
Ini menunjukkan bahwa kedua kodifikasi, baik lama maupun baru, mengakui pentingnya perlindungan terhadap institusi keluarga, dan meminimalisir penggunaan instrumen pidana dalam konflik internal rumah tangga.
Perbedaan Redaksional dan Sistematika:
Meskipun substansi ketentuannya serupa, terdapat perbedaan mencolok dalam gaya dan sistematika penulisan:
- KUHP Lama menggunakan gaya yang lebih sederhana dan ringkas, contohnya: “…berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini.”
- KUHP Baru menggunakan istilah yang lebih sistematis dan terstruktur, menyebut secara spesifik pasal-pasal yang dirujuk: “…berlaku juga bagi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 482 dan Pasal 483.”
Hal ini mencerminkan kecenderungan KUHP Baru untuk:
- Menjadi lebih presisi dalam rujukan norma,
- Mempermudah penelusuran hukum oleh aparat penegak hukum dan masyarakat,
- Mendorong prinsip lex certa (kepastian hukum).
Konsistensi Perlakuan antar Tindak Pidana:
Baik dalam KUHP Lama maupun KUHP Baru, perlakuan hukum terhadap tindak pidana kekayaan dalam ranah keluarga dibuat konsisten, baik pencurian maupun pemerasan/pengancaman. Prinsipnya:
- Jika pelaku adalah anggota keluarga dekat, maka hukum pidana hanya menjadi jalan terakhir, terutama bila tidak ada pengaduan dari korban.
- Dalam KUHP Baru, ketentuan ini dipertahankan dan diperluas dalam bentuk yang lebih tertata.
Penekanan pada Asas Delik Aduan dalam Lingkup Keluarga:
Pasal-pasal tersebut mencerminkan bahwa negara:
- Tidak selalu harus campur tangan dalam konflik internal keluarga,
- Menyerahkan keputusan kepada korban dalam relasi personal untuk menentukan apakah pelaku perlu diproses pidana,
- Menghargai struktur sosial-budaya lokal, termasuk sistem matriarkal yang diakomodasi secara eksplisit.
Kesimpulan:
Pasal 370 KUHP Lama jo. Pasal 367 dan Pasal 484 KUHP Baru jo. Pasal 481 memiliki tujuan yang sama, yaitu memperluas ketentuan mengenai syarat pengaduan dalam tindak pidana pencurian agar juga berlaku pada tindak pidana pemerasan dan pengancaman. Keduanya menegaskan bahwa apabila pelaku merupakan suami atau istri yang tidak terpisah tempat tinggal atau harta, maka penuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Jika hubungan pelaku dan korban berada dalam lingkup keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua, atau pasangan yang sudah terpisah ranjang atau harta, maka penuntutan hanya dapat dilakukan atas dasar pengaduan dari korban. Keduanya juga mengakui sistem kekerabatan matriarkal, namun KUHP Baru menyampaikannya dengan redaksi yang lebih eksplisit.
Perbedaannya terletak pada gaya dan sistematika hukum. KUHP Lama menggunakan gaya penulisan yang ringkas dan bersifat umum, sementara KUHP Baru tampil dengan redaksi yang lebih spesifik dan struktur pasal yang lebih tertata. Pendekatan kodifikasi dalam KUHP Baru menekankan kepastian hukum dan kemudahan interpretasi, sehingga lebih memudahkan aparat penegak hukum dalam menerapkannya. Meskipun berbeda dalam bentuk penyajian, kedua ketentuan tersebut secara prinsipil menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan secara serampangan dalam konteks relasi kekeluargaan, melainkan harus tunduk pada asas delik aduan sebagai bentuk perlindungan terhadap institusi keluarga.
Contoh Kasus: Pemerasan oleh Anak terhadap Ayah Kandung
Nama Para Pihak:
- Pelaku: Andi (25 tahun), anak kandung dari korban.
- Korban: Bapak Sutrisno (60 tahun), ayah kandung dari Andi.
Kronologi Kejadian:
Andi, yang sudah tidak tinggal serumah dengan ayahnya dan telah hidup mandiri, suatu hari datang ke rumah ayahnya dan meminta uang Rp50 juta dengan dalih untuk membuka usaha. Ketika ditolak karena alasan keuangan, Andi kemudian mengancam akan menyebarkan informasi memalukan tentang masa lalu ayahnya (terkait hutang yang belum lunas dan perselingkuhan yang sudah lama berlalu) kepada keluarga besar dan media sosial.
Karena merasa ditekan dan takut akan aib keluarga terbongkar, Sutrisno akhirnya menyerahkan uang tersebut. Namun, setelah peristiwa itu, Sutrisno merasa sangat tertekan dan melaporkan Andi ke kepolisian atas dugaan tindak pidana pemerasan.
Analisis Hukum berdasarkan KUHP Lama:
Mengacu pada Pasal 368 KUHP Lama tentang pemerasan dan Pasal 370 KUHP Lama yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 367 juga berlaku terhadap tindak pidana pemerasan, maka jika pelaku adalah keluarga sedarah dalam garis lurus seperti anak kandung, penuntutan hanya dapat dilakukan atas dasar pengaduan. Dalam kasus ini, Andi adalah anak kandung dari Sutrisno, sehingga termasuk dalam kategori tersebut. Karena Sutrisno mengajukan pengaduan, maka penuntutan terhadap Andi dapat dilanjutkan berdasarkan Pasal 367 ayat (2) KUHP Lama.
Analisis Hukum berdasarkan KUHP Baru:
Mengacu pada Pasal 482 KUHP Baru tentang pemerasan dan Pasal 484 KUHP Baru yang memperluas berlakunya ketentuan Pasal 481 ke tindak pidana pemerasan dan pengancaman, maka ketentuan mengenai delik aduan juga berlaku. Dalam hal ini, Andi sebagai anak kandung termasuk dalam keluarga sedarah dalam garis lurus. Karena ia tidak lagi tinggal serumah dan telah berpisah urusan harta dengan ayahnya, maka penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 481 ayat (2). Dengan adanya pengaduan dari Sutrisno, proses hukum terhadap Andi dapat dilanjutkan.
Catatan Penting:
Jika dalam kasus di atas tidak terdapat pengaduan dari Sutrisno, maka baik menurut KUHP Lama maupun KUHP Baru, penuntutan tidak dapat dilakukan karena tindak pidana tersebut termasuk kategori delik aduan relatif. Artinya, meskipun unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi, proses pidana tidak bisa berjalan tanpa pengaduan dari pihak korban yang memiliki hubungan keluarga tertentu dengan pelaku.
Kesimpulan dari Kasus:
Keluarga sedarah dalam garis lurus seperti hubungan ayah dan anak berada dalam kategori hukum yang membatasi penuntutan pidana atas dasar asas delik aduan. Pengaduan dari korban menjadi syarat mutlak untuk melanjutkan proses hukum. Kedua KUHP, baik yang lama maupun yang baru, tetap mengedepankan prinsip perlindungan terhadap institusi keluarga. Namun, KUHP Baru menyajikan aturan tersebut dengan struktur yang lebih rinci dan sistematis, memudahkan penegakan hukum dan memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi.
