Kitab Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatul Ahkam
Bab Peradilan
Definisi Al-Qadha’
Definisi Al-Qadha’ secara bahasa yaitu “Menetapkan suatu perkara dan menyelesaikannya.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.” (QS. Fushshilat: 12). Artinya, Dia telah menetapkan hukum mereka dan menyelesaikannya.
Sedangkan, definisi Al-Qadha’ menurut syari’at yaitu “Penjelasan mengenai hukum syari’at serta kewajiban untuk mengikutinya dan penyelesaian sengketa.”
Dasar Hukum
Adapun dasar dan disyaria’atkannya Al-Qadha’ yaitu berdasarkan:
- Al-Kitab (Al-Qur’an)
- As-Sunnah (Al-Hadits)
- Ijma’ (Kesepakatan Ulama’)
- Qiyas (Analogi).
Dalil Disyariatkannya Peradilan Islam Berdasarkan Al-Qur’an:
Contoh dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yaitu “Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.” (QS. Shad: 26)
Serta firman Allah subhanahu wa ta’ala yaitu “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al-Maidah: 49), dan berdasarkan dalil-dalil lainnya.
Dalil Disyariatkannya Peradilan Islam Berdasarkan As-Sunnah
Adapun (dalil-dalil) As-Sunnah (terkait Peradilan Islam) sangatlah banyak, dan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dalam dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Muslim) dari Amr bin al-Ash, dari Nabi ﷺ. Bahwasanya beliau (Nabi ﷺ) bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala dan apabila ia berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala.”
Kaum Muslimin telah bersepakat tentang disyariatkannya hal (Peradilan) itu dan hal itu sesuai dengan Qiyas (analogi), jika suatu keadaan tidak akan menjadi baik kecuali dengannya (adanya peradilan tersebut), maka hal (adanya peradilan) tersebut merupakan Fardhu Kifayah.
Dikatakan dalam (kitab) Al Mughni: “Dan di dalamnya terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang mampu melaksanakannya dan menunaikan kebenaran di dalamnya. Oleh karena itu, Allah memberikan pahala meskipun ada kesalahan, dan menghapuskan hukum kesalahan tersebut darinya, karena di dalamnya terkandung amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan), menolong orang yang terdzalimi, menunaikan hak kepada yang berhak menerimanya, mencegah orang dzalim dari kedzalimannya, mendamaikan di antara manusia, serta menyelamatkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hal ini termasuk dari pintu-pintu mendekatkan diri kepada Allah.”
Oleh karena itu, Nabi ﷺ dan para nabi sebelum beliau menanganinya, sehingga mereka memberikan keputusan untuk umat-umat mereka. Dan beliau ﷺ mengutus Ali dan Mu’adz ke Yaman sebagai hakim.
Telah diriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa ia berkata: “Sungguh, jika aku dapat menjadi hakim antara dua orang, itu lebih aku cintai daripada beribadah selama tujuh puluh tahun.”
Di dalamnya (Proses Peradilan) terdapat bahaya yang besar dan beban yang berat bagi siapa pun yang tidak menunaikan hak di dalamnya. Oleh karena itu, para salaf rahimahumullah sangat menjauhi hal tersebut dan takut terhadap bahaya yang mungkin menimpa diri mereka.
Adapun hikmah disyariatkannya (Peradilan tersebut): cukup bagimu apa yang disebutkan oleh (Penulis al-Mughni). Tidak mungkin untuk membatasi hikmah dan rahasia yang terkandung di dalam Peradilan tersebut. Imam Ahmad telah berkata: “Sungguh, masyarakat memerlukan seorang hakim. Apakah hak-hak manusia akan hilang?”
Seandainya bukan karena peradilan dan penyelesaian sengketa, pengembalian hak yang terdzalimi, dan penjelasan kebenaran, pasti kehidupan akan menjadi kacau. Cukuplah bahwa hal itu merupakan suatu bagian dari kebutuhan hidup.