Peradilan Islam (Al Qadha’) Berdasarkan Kitab Al Mughni

Dasar hukum untuk pengadilan dan kewajiban untuk melaksanakannya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala:

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26).

Juga firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (QS. Al-Ma’idah: 49).

Dan firman-Nya: “Dan apabila mereka dipanggil kepada (putusan) Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara di antara mereka.” (QS. An-Nur: 51).

Dan firman-Nya Ta’ala: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).

Adapun dari Sunnah, adalah riwayat dari ‘Amr bin Al-‘Ash dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Jika seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala; dan jika ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, terdapat banyak ayat dan hadits lainnya. Para ulama sepakat akan kewajiban adanya lembaga pengadilan dan menetapkan hukum di antara manusia.

Pasal: Peradilan adalah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi karena urusan manusia tidak dapat berjalan dengan baik tanpa Peradilan, maka ini menjadi kewajiban bagi mereka, seperti halnya jihad dan kepemimpinan.

Imam Ahmad berkata: “Tidak ada pilihan bagi manusia untuk tidak memiliki seorang hakim; apakah hak-hak mereka akan hilang!”

Di dalam Peradilan terdapat pahala yang besar bagi siapa saja yang mampu melaksanakan tugas tersebut dan menunaikan hak-hak di dalamnya. Oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai pahala meskipun terjadi kesalahan, dan menghapuskan hukum kesalahan dari pelaksanaannya, serta karena di dalamnya terdapat perintah untuk melakukan kebaikan dan membela orang yang terdzalimi.

Menunaikan hak kepada yang berhak, serta membela orang yang terdzalimi dari kedzalimannya, memperbaiki hubungan antara manusia, dan membebaskan sebagian dari mereka satu sama lain. Semua itu merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para nabi sebelum beliau, mereka memutuskan hukum untuk umat mereka. Beliau mengutus Ali dan Mu’adz sebagai hakim ke Yaman.

Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Duduknya seorang hakim di antara dua orang, lebih aku sukai daripada beribadah selama tujuh puluh tahun.”

Dan dari Uqbah bin Amir, ia berkata: “Dua orang yang bersengketa datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau berkata kepadaku: “Hukumlah di antara mereka”. Aku menjawab: “Engkaulah yang lebih berhak untuk melakukan itu.” Beliau berkata: “Meskipun demikian”. Aku bertanya: “Dengan apa aku harus memutuskan?”. Beliau menjawab: “Hukumlah, jika kamu benar, maka bagimu sepuluh pahala, dan jika kamu salah maka bagimu satu pahala.” Diriwayatkan oleh Sa’id dalam “Sunan-nya”.

Bab: Dan di dalamnya terdapat bahaya yang sangat besar dan beban yang berat bagi siapa yang tidak menunaikan hak di dalamnya, oleh karena itu, para salaf [semoga Allah meridhoi mereka] sangat menolak hal itu dengan sekuat tenaga, dan mereka takut terhadap bahaya tersebut.

Khaqan bin Abdullah berkata: “Abu Qilabah ditunjuk untuk mengadili di Basrah, tetapi ia melarikan diri ke Yamamah, kemudian ia ditunjuk untuk mengadilinya, [maka ia melarikan diri ke Syam, dan ia juga ditunjuk untuk mengadilinya].”

Dan telah dikatakan: “Tidak ada di sini selain dirimu.” Dia berkata: “Maka terapkanlah perkara ini sesuai dengan apa yang kalian katakan, sesungguhnya perumpamaanku seperti seorang perenang yang jatuh ke dalam lautan, maka dia berenang pada hari itu, kemudian pergi, lalu berenang pada hari kedua, dan dia juga pergi. Namun ketika hari ketiga tiba, kedua tangannya mulai lelah.”

Dan telah dikatakan: “Orang yang paling mengetahui tentang peradilan adalah yang paling membencinya” karena besarnya resiko peradilan, Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang diangkat menjadi hakim, maka ia seakan telah disembelih tanpa pisau”.

At-Tirmidzi berkata: “(Hadis) ini hasan”. Dikatakan tentang hadits ini bahwa sesungguhnya hadits tersebut tidak bermaksud mencela pekerjaan hakim, tetapi menggambarkan kesulitannya; seolah-olah orang yang diberi tanggung jawab ini telah dipikul dengan kesulitan yang setara dengan kesulitan disembelih.

Bab: Dalam hal peradilan, orang-orang terbagi menjadi tiga kelompok; di antaranya adalah mereka yang tidak boleh memasukinya, yaitu orang yang tidak mahir dalam hal itu dan belum terpenuhi syarat-syaratnya.

Dari Nabi ﷺ diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Para hakim itu ada tiga golongan”, dan di antara yang beliau sebutkan adalah orang yang memutuskan perkara di antara manusia dengan kebodohan, maka tempatnya di neraka. Karena orang yang tidak mahir dalam peradilan tidak akan mampu berlaku adil di dalamnya; ia akan mengambil hak dari pemiliknya dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak.

Di antara mereka ada yang diperbolehkan menjadi hakim, tetapi tidak diwajibkan, yaitu orang yang memiliki sifat adil dan kemampuan ijtihad, dan ada orang lain yang sepertinya (dalam kualifikasi). Maka, ia boleh menjadi hakim berdasarkan keadaan dan kecakapannya, tetapi tidak diwajibkan baginya karena peran itu tidak dikhususkan hanya untuknya.

Dan tampaknya pendapat Ahmad adalah bahwa tidak disunnahkan baginya untuk terlibat dalam hal itu; karena di dalamnya terdapat bahaya dan ketidakpastian, dan meninggalkannya adalah lebih selamat. Selain itu, terdapat peringatan dan celaan terkait hal itu, dan cara para salaf adalah menolak dan berhati-hati dari hal tersebut. Dan telah terjadi bahwa Utsman رضي الله عنه ingin mengangkat Ibnu Umar sebagai hakim, tetapi Ibnu Umar menolaknya.

Dan Abu Abdillah Ibn Hamid berkata: “Jika ada seorang laki-laki yang tidak dikenal, tidak dirujuk dalam hukum, dan tidak dikenal oleh orang banyak, maka lebih utama baginya untuk diangkat sebagai hakim, agar dapat dirujuk kepadanya dalam perkara hukum, hak ditegakkan melalui dirinya, dan umat Islam dapat memanfaatkan keberadaannya. Namun, jika ia terkenal di kalangan masyarakat karena ilmu pengetahuannya dan fatwa, Maka lebih utama untuk berkecimpung dalam hal itu, karena di dalamnya terdapat manfaat serta aman dari ketidakpastian. Demikian pula yang dikatakan oleh para pengikut Syafi’i …”