Keadilan untuk Korban, Hukuman untuk Pelaku: Tragedi Pelecehan Seksual di Klinik Garut

Oleh Lawyer Ahdan Ramdani

Peristiwa yang terjadi di sebuah klinik swasta di Kabupaten Garut, Jawa Barat, baru-baru ini telah menggugah perhatian publik, khususnya dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap hak pasien dan integritas profesi kedokteran. Seorang dokter kandungan berinisial MSF ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual terhadap pasien yang sedang memeriksakan kandungannya. Fakta ini diperkuat oleh beredarnya rekaman CCTV yang secara visual menunjukkan adanya tindakan tidak senonoh yang dilakukan pelaku terhadap korban. Dalam kapasitas saya sebagai advokat, saya menilai bahwa kasus ini perlu ditelaah secara serius dari sisi hukum pidana dan perlindungan korban.

Secara yuridis, tindakan yang dilakukan oleh tersangka MSF memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu kekerasan seksual fisik. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan seksual fisik terhadap orang lain dikenai pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta. Perbuatan pelaku dilakukan dalam konteks relasi kuasa dan kepercayaan profesional, yang justru memberatkan tindakannya secara moral maupun hukum.

Tidak berhenti di sana, pelaku juga dapat dikenai ketentuan dalam Pasal 294 KUHP, yang mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk melakukan perbuatan cabul. Seorang dokter memiliki otoritas profesional dan kedudukan yang sangat dipercaya oleh pasiennya. Ketika posisi ini disalahgunakan untuk melakukan kekerasan seksual, maka unsur penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat menjadi dasar pemberatan dalam tuntutan pidana. Dalam hal ini, pelaku telah merusak marwah profesi dan menyakiti martabat korban secara fisik dan psikologis.

Dari aspek etik profesi, perbuatan tersangka MSF merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Profesi kedokteran menuntut integritas tinggi, dan salah satu prinsip utamanya adalah menjaga kehormatan serta kepercayaan pasien. Kode etik menegaskan bahwa dokter tidak boleh memanfaatkan relasi profesional untuk kepentingan pribadi, terlebih yang berkaitan dengan tindakan seksual. Dengan demikian, pelaku dapat dihadapkan pada proses disipliner, mulai dari pencabutan izin praktik oleh Konsil Kedokteran Indonesia hingga pemecatan dari keanggotaan IDI.

Sebagai advokat, saya menilai penting untuk memastikan bahwa korban dalam kasus ini memperoleh perlindungan hukum yang maksimal. Kepolisian telah bertindak cepat dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku dalam kurun waktu kurang dari 24 jam sejak video beredar, serta membuka posko pengaduan bagi korban lainnya. Ini merupakan langkah progresif yang perlu diapresiasi. Namun demikian, proses hukum harus tetap dikawal agar tidak berhenti pada tahap permukaan. Harus ada jaminan keadilan substantif bagi korban, baik dari segi pemulihan psikologis maupun pemenuhan hak atas rasa aman.

Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran terhadap satu individu, tetapi menyentuh ranah publik yang lebih luas: bagaimana negara melindungi warganya dari kekerasan seksual, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman seperti fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, kasus ini dapat dijadikan momentum untuk mengevaluasi sistem pengawasan internal di klinik swasta dan memperketat regulasi praktik medis. Ruang praktik yang tertutup tanpa pengawasan, serta kurangnya mekanisme pelaporan di fasilitas kesehatan, menjadi celah yang harus segera ditutup oleh regulasi.

Sebagai penutup, saya mendorong semua pihak — mulai dari aparat penegak hukum, organisasi profesi, hingga masyarakat sipil — untuk mengawal proses hukum ini hingga tuntas. Tidak hanya demi keadilan bagi korban, tetapi juga untuk menjaga marwah profesi kedokteran dan memastikan bahwa ruang pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi tempat yang aman dan manusiawi. Negara harus hadir secara konkret dalam memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban serta menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada pelaku demi efek jera dan perlindungan kolektif.