Pasal 32 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum.
Makna “batal demi hukum”
Pasal 32 menyatakan bahwa setiap janji (klausula kontrak) yang mengatur cara eksekusi objek fidusia secara bertentangan dengan Pasal 29 dan Pasal 31 adalah batal demi hukum. Istilah ini berarti void ab initio, klausula tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal, tanpa perlu ada putusan hakim untuk menyatakannya tidak sah. Akibatnya: (i) klausula menyimpang tidak dapat dijadikan dasar tindakan apa pun; (ii) tidak menimbulkan hak/kewajiban bagi para pihak; dan (iii) perjanjian lainnya tetap berlaku sepanjang dapat dipisahkan (asas severability). Dalam praktik, jika kreditur tetap memaksakan eksekusi berdasarkan klausula yang batal, tindakannya tanpa dasar hukum dan dapat digugat (mis. PMH/Pasal 1365 KUHPerdata), termasuk berpotensi memicu sengketa pidana bila ada unsur perampasan/penggelapan.
Keterkaitan dengan Pasal 29 dan Pasal 31 (Batas “jalur resmi” eksekusi)
Pasal 29 menentukan tiga koridor sah eksekusi: (1) titel eksekutorial Sertifikat Fidusia; (2) pelelangan umum; dan (3) penjualan di bawah tangan dengan syarat transparansi (notifikasi tertulis, pengumuman di minimal dua koran, jeda 1 bulan) agar harga optimal dan melindungi pihak ketiga. Pasal 31 memberi koridor khusus untuk objek berupa benda perdagangan/efek: boleh dijual di pasar/bursa menurut regulasi sektor terkait (mis. aturan bursa & pasar modal). Dua pasal ini menetapkan “pagar prosedural”: eksekusi harus terukur, transparan, dan akuntabel. Setiap upaya “memintas” pagar ini, misalnya ambil-alih paksa tanpa prosedur, atau jual cepat tanpa pemberitahuan & publikasi, jatuh ke ranah Pasal 32 dan otomatis tak bernilai hukum.
Tujuan Pasal 32 (Perlindungan, Kepastian, Pencegahan Penyalahgunaan)
Ada tiga lapis tujuan:
- Perlindungan debitur & pihak ketiga agar tidak dizalimi klausula sepihak yang membuka ruang self-help berlebihan (mis. “kreditur boleh langsung memiliki barang saat gagal bayar”). Klausula seperti ini beririsan dengan larangan pactum commissorium dalam hukum jaminan Indonesia.
- Kepastian & keteraturan: eksekusi mesti melalui kanal legal (pengadilan/ lelang/ di bawah tangan yang transparan/ bursa), bukan kesepakatan “jalan pintas”.
- Good faith & due process: memastikan itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata) dan fair price discovery, harga tertinggi wajar melalui publikasi atau mekanisme pasar, sehingga mengurangi moral hazard dan sengketa pasca-eksekusi. Ketentuan ini juga selaras dengan putusan peradilan yang menekankan bahwa jika ada sengketa soal wanprestasi atau penyerahan sukarela, eksekusi tidak boleh dilakukan secara sepihak, melainkan menggunakan mekanisme peradilan (sejalan dengan praktik pasca putusan MK terkait eksekusi fidusia).
Contoh Kasus Penerapan (Klausula menyimpang vs. klausula patuh UU)
Klausula yang menyimpang (batal demi hukum):
- “Jika debitur terlambat, kreditur langsung menjadi pemilik objek fidusia, tanpa lelang/ pengadilan.” → Ini pactum commissorium terselubung, melanggar Pasal 29 dan semangat larangan peralihan otomatis.
- “Kreditur dapat menarik dan menjual barang kapan saja tanpa pemberitahuan kepada debitur dan tanpa publikasi koran.” → Mengabaikan syarat Pasal 29 ayat (2) untuk penjualan di bawah tangan.
- “Efek yang dijaminkan boleh dijual secara ‘internal’ kepada afiliasi kreditur tanpa mengacu pada aturan bursa.” → Bertentangan dengan Pasal 31 (wajib mengikuti aturan pasar/ bursa).
Klausula yang Patuh (Contoh Redaksi Sehat):
“Apabila terjadi cidera janji, para pihak sepakat eksekusi dilakukan melalui pelelangan umum, dan/atau penjualan di bawah tangan sesuai Pasal 29 ayat (2), termasuk pemberitahuan tertulis kepada pihak terkait dan pengumuman di minimal dua surat kabar, serta jeda 1 (satu) bulan sebelum transaksi.”
“Apabila objek berupa efek/ komoditas bursa, para pihak sepakat penjualan dilakukan melalui mekanisme bursa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (peraturan bursa/ otoritas pasar modal), dan hasilnya digunakan untuk pelunasan piutang sesuai urutan preferensi.”
Dampak praktis bila kreditur melanggar Pasal 32: Debitur dapat mengajukan gugatan perdata (minta pemulihan posisi semula/ganti rugi), eksepsi terhadap eksekusi, atau laporan pidana bila ada unsur delik. Hasil penjualan yang dilakukan lewat klausula batal dapat disengketakan keabsahannya, memicu risiko reputasi dan exposure hukum bagi kreditur.
Inti Pasal 32 (Ringkasan Operasional + Best Practice)
Intinya: negara mengunci jalur eksekusi fidusia pada koridor Pasal 29 & 31. Setiap klausula yang mengatur cara lain, betapa pun disepakati, tidak berlaku otomatis.
Best practice bagi penyusun kontrak:
- Selalu rujuk eksplisit ke Pasal 29–31;
- Cantumkan prosedur rinci (notifikasi, publikasi 2 koran, jeda 1 bulan) untuk penjualan di bawah tangan;
- Untuk efek/komoditas bursa, nyatakan tunduk pada aturan bursa & otoritas;
- Hindari redaksi yang mengalihkan kepemilikan otomatis atau menutup akses due process;
- Tambahkan klausula severability agar jika satu pasal batal, perjanjian lain tetap berlaku.
