Larangan Pactum Commissorium dalam Jaminan Fidusia

Pasal 33 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:

Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Pemberi Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.

Makna Pasal

Pasal 33 menegaskan bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia (kreditur) untuk langsung memiliki benda yang dijaminkan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum. Artinya, meskipun disepakati dan ditandatangani para pihak, klausula semacam itu dianggap tidak pernah ada sejak awal.

Tujuan dan Perlindungan Hukum

Aturan ini bertujuan melindungi posisi debitur dari praktik yang merugikan. Tanpa Pasal 33, kreditur bisa langsung mengambil alih objek fidusia hanya karena wanprestasi, meski nilai benda jauh lebih tinggi dari utang. Dengan adanya larangan ini, proses eksekusi tetap harus melalui mekanisme resmi yang adil, seperti pelelangan umum atau penjualan di bawah tangan sesuai ketentuan Pasal 29–31.

Keterkaitan dengan Pactum Commissorium

Pactum commissorium adalah suatu perjanjian atau klausula dalam perikatan jaminan, di mana kreditur secara otomatis berhak memiliki benda jaminan apabila debitur cidera janji (wanprestasi) tanpa melalui mekanisme eksekusi yang sah.

Pasal 33 mencerminkan larangan pactum commissorium, yaitu janji dalam perjanjian jaminan yang memberi hak otomatis kepada kreditur untuk memiliki barang jaminan jika debitur gagal memenuhi kewajiban. Larangan pactum commissorium adalah prinsip universal dalam hukum jaminan kebendaan, termasuk gadai dan hak tanggungan, agar jaminan tidak berubah menjadi jalan pintas pengambilalihan aset.

Contoh Klausula yang Batal demi Hukum

Beberapa contoh klausula yang termasuk pactum commissorium antara lain:

  1. “Jika debitur lalai membayar, mobil yang dijaminkan otomatis menjadi milik kreditur.”
  2. “Apabila debitur wanprestasi, tanah yang dijaminkan langsung berpindah kepemilikan kepada kreditur.”

Klausula semacam ini tidak memiliki kekuatan hukum meskipun ada dalam kontrak.

    Contoh Klausula yang Sah

    Sebaliknya, klausula yang sah harus sesuai dengan ketentuan Pasal 29–31, misalnya:

    1. “Eksekusi dilakukan melalui pelelangan umum sesuai ketentuan hukum.”
    2. “Penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan pemberitahuan tertulis dan pengumuman di surat kabar sesuai Pasal 29.”

    Dengan cara ini, kreditur tetap dapat melunasi piutangnya, sementara debitur tetap memiliki hak atas kelebihan hasil penjualan barang jaminan.

      Dampak Praktis

      Ketentuan ini menegaskan bahwa eksekusi fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak. Kreditur tetap memiliki hak untuk melunasi piutangnya dari objek jaminan, tetapi wajib menempuh jalur eksekusi yang transparan. Jika kreditur melanggar ketentuan ini, debitur dapat menggugat secara perdata maupun melaporkan secara pidana karena dianggap sebagai perampasan.

      Kasus Hipotetis

      Seorang debitur bernama Andi meminjam uang sebesar Rp100 juta dari PT Kredit Sejahtera. Sebagai jaminan, Andi menyerahkan sertifikat fidusia atas mobil Toyota Fortuner miliknya. Dalam perjanjian fidusia, PT Kredit Sejahtera memasukkan klausula:

      “Apabila debitur lalai membayar angsuran, maka kendaraan yang dijadikan objek fidusia secara otomatis menjadi milik penuh PT Kredit Sejahtera tanpa melalui proses lelang.”

      Beberapa bulan kemudian, Andi gagal membayar angsuran selama tiga bulan. PT Kredit Sejahtera kemudian langsung mengambil mobil tersebut dan mencatatnya sebagai aset perusahaan, tanpa melewati mekanisme eksekusi resmi.

      Analisis Hukum

      Klausula di atas termasuk bentuk pactum commissorium karena memberikan hak otomatis kepada kreditur untuk memiliki benda jaminan jika debitur cidera janji. Sesuai Pasal 33 UU Jaminan Fidusia, klausula tersebut batal demi hukum. Dengan demikian, tindakan PT Kredit Sejahtera yang langsung menguasai mobil tanpa prosedur lelang atau mekanisme resmi adalah tidak sah.

      Konsekuensi Hukum

      Bagi Kreditur (PT Kredit Sejahtera):

      1. Kehilangan dasar hukum untuk memiliki mobil tersebut.
      2. Dapat digugat oleh debitur atas perbuatan melawan hukum.
      3. Bisa terkena sanksi pidana jika dianggap melakukan perampasan atau penggelapan.

      Bagi Debitur (Andi):

      1. Masih memiliki hak untuk menuntut pengembalian mobil atau setidaknya hasil penjualan mobil melalui mekanisme eksekusi yang sah.
      2. Tetap berkewajiban melunasi utang, namun melalui cara yang adil dan transparan.

      Kesimpulan

      Pasal 33 hadir sebagai perlindungan hukum agar kreditur tidak bisa serta-merta menguasai objek jaminan fidusia. Setiap eksekusi wajib mengikuti mekanisme resmi sebagaimana diatur Pasal 29–31, baik melalui titel eksekutorial, pelelangan umum, atau penjualan di bawah tangan yang sah.