Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan:
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Penjelasan:
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoire overeenkomst / accessory agreement) dari suatu perjanjian pokok (hoofdovereenkomst / principal agreement). Artinya, jaminan fidusia tidak berdiri sendiri secara hukum, tetapi hanya dapat ada jika terdapat perjanjian utama yang menimbulkan kewajiban antara para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Apabila perjanjian pokok menjadi batal atau berakhir (misalnya utang telah dibayar lunas), maka perjanjian fidusia sebagai jaminan ikutan juga secara hukum turut hapus.
Perjanjian pokok (principal agreement) umumnya berupa perjanjian kredit, pembiayaan konsumen, atau utang-piutang, yang menciptakan kewajiban prestasi bagi debitur. Untuk menjamin pemenuhan kewajiban tersebut, para pihak membuat perjanjian tambahan berupa jaminan fidusia (accessory agreement), yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitur wanprestasi (gagal memenuhi kewajiban).
Contoh Kasus:
Seorang konsumen membeli mobil secara kredit dari perusahaan pembiayaan. Perjanjian pembiayaan tersebut adalah perjanjian pokok (hoofdovereenkomst / principal agreement), sedangkan perjanjian jaminan fidusia atas mobil tersebut merupakan perjanjian ikutan (accessoire overeenkomst / accessory agreement). Bila konsumen menunggak cicilan, perusahaan pembiayaan berhak mengeksekusi mobil tersebut. Namun bila kredit lunas, maka jaminan fidusia otomatis gugur.
Dengan demikian, Pasal 4 menegaskan bahwa jaminan fidusia hanya dapat lahir, berlaku, dan memiliki kekuatan hukum selama ada perjanjian pokok yang sah, karena sifatnya yang accessoir atau dependent.
