Perbedaan KUHAP dan RUU KUHAP Tentang Penyidik

Pasal 1 ayat (1) KUHAP:

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Pasal 1 ayat (2) RUU KUHAP:

“Penyidik adalah penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil, atau penyidik tertentu yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.”

Redaksi dan Susunan Kalimat

Secara struktural, definisi dalam KUHAP lebih ringkas dan linear, hanya menyebut dua subjek: “pejabat polisi negara Republik Indonesia” atau “pejabat pegawai negeri sipil tertentu.” Sementara itu, RUU KUHAP menyusun kalimat dengan model enumeratif atau daftar: “penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil, atau penyidik tertentu.” Penyusunan model daftar ini memperjelas kategori dan memperkuat klasifikasi jenis penyidik.

Terminologi Institusional dan Fungsional

Dalam KUHAP, istilah yang digunakan adalah “pejabat polisi negara Republik Indonesia,” yang bersifat jabatan administratif. Sementara RUU KUHAP menggunakan istilah “penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,” yang merupakan fungsi hukum acara secara spesifik. Pergeseran ini menunjukkan bahwa RUU KUHAP menitikberatkan pada fungsi dan peran dalam sistem peradilan pidana, bukan sekadar jabatan formal dalam birokrasi negara.

Frasa “Penyidik Tertentu” dan Penguatan Kewenangan

RUU KUHAP menambahkan kategori baru secara eksplisit yaitu “penyidik tertentu,” yang tidak disebut secara eksplisit dalam KUHAP, meskipun dalam praktik telah dikenal melalui peraturan sektoral (misalnya PPNS di lingkungan kementerian/lembaga). Ini merupakan bentuk formalisasi praktik hukum yang sudah ada. Selain itu, redaksi RUU KUHAP menggunakan frasa “yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang,” sedangkan KUHAP menggunakan “yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.” Kata “kewenangan” di RUU KUHAP bersifat lebih umum dan abstrak, sementara “wewenang khusus” di KUHAP bersifat lebih sempit dan teknis.

Arah Reformulasi dan Konsekuensi Normatif

Perubahan dalam RUU KUHAP merefleksikan upaya harmonisasi hukum acara pidana dengan praktik kelembagaan modern, termasuk keberadaan penyidik di luar Kepolisian dan ASN tertentu (misalnya di KPK, OJK, dan Kementerian). Formulasi baru ini memperjelas cakupan dan kedudukan semua pihak yang dapat menjalankan fungsi penyidikan. Akan tetapi, penggunaan istilah “penyidik tertentu” membuka ruang penafsiran dan berpotensi memerlukan aturan pelaksana agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Kesimpulan

Perbandingan antara KUHAP dan RUU KUHAP dalam hal definisi penyidik menunjukkan pergeseran dari pendekatan administratif ke pendekatan fungsional dalam hukum acara pidana. RUU KUHAP cenderung lebih inklusif, sistematis, dan sesuai dengan perkembangan hukum dan kelembagaan di Indonesia. Namun, perlu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pelaksana untuk menghindari konflik yurisdiksi dan menjamin kepastian hukum.