Pasal 379 KUHP Lama menyatakan:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 (Tindak Pidana Penipuan), jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
Pasal 494 KUHP Baru menyatakan:
Dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II, jika:
a. Barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 (Tindak Pidana Penipuan) bukan Ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); atau
b. nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493.
Pengaturan Tindak Pidana Penipuan Ringan
Pasal 379 KUHP Lama dan Pasal 494 KUHP Baru sama-sama mengatur mengenai kategori khusus dari tindak pidana penipuan yang disebut sebagai penipuan ringan (light fraud). Keduanya memberikan pengecualian atau perlakuan yang lebih ringan terhadap tindak pidana penipuan dalam hal nilai objek atau kerugian tergolong kecil. Hal ini mencerminkan asas proporsionalitas dalam pemidanaan yang memperhitungkan derajat kerugian dan dampak sosial dari tindak pidana tersebut.
Batasan Nilai Kerugian: Dari 25 Rupiah ke 1 Juta Rupiah
Salah satu perbedaan paling mencolok adalah penyesuaian nilai kerugian atau objek penipuan yang dikategorikan sebagai ringan. KUHP Lama menyatakan bahwa penipuan dianggap ringan jika nilai barang, utang, atau piutang tidak lebih dari 25 rupiah, suatu angka yang sangat kecil dan tidak relevan lagi dengan kondisi ekonomi saat ini. KUHP Baru memperbarui nilai tersebut menjadi Rp1.000.000,00, menjadikannya lebih kontekstual dan masuk akal dalam era modern. Selain itu, KUHP Baru menambahkan batasan nilai terhadap keuntungan yang diperoleh pelaku (Pasal 494 huruf b), yang tidak diatur dalam KUHP Lama. Ini memperluas perspektif penilaian ringan tidak hanya dari nilai objek yang diserahkan, tetapi juga dari benefit yang dinikmati oleh pelaku, mencerminkan pendekatan yang lebih adil dan objektif.
Kategori Barang dan Objek yang Dikecualikan
KUHP Lama secara tegas menyatakan bahwa penipuan tidak dikategorikan ringan jika melibatkan ternak. KUHP Baru memperluas pengecualian ini, yakni tidak hanya Ternak, tetapi juga sumber mata pencaharian, utang, dan piutang bernilai besar. Hal ini menunjukkan bahwa KUHP Baru lebih sensitif terhadap jenis barang atau harta yang berdampak signifikan bagi kehidupan korban, seperti aset produktif atau penghidupan sehari-hari.
Jenis dan Tingkatan Pidana
Dalam KUHP Lama, penipuan ringan dapat dikenai pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda maksimal Rp250,00, sesuai dengan sistem pemidanaan era kolonial yang sangat terbatas. KUHP Baru, sebaliknya, menghilangkan opsi pidana penjara dan menggantinya dengan pidana denda kategori II, yang dalam KUHP Baru berarti maksimal Rp10.000.000,00. Hal ini menunjukkan adanya diversifikasi sanksi pidana dengan fokus pada pidana denda untuk perkara ringan, sekaligus menghindari pemenjaraan terhadap pelanggaran minor.
Sistematisasi dan Keterpaduan antar Pasal
KUHP Baru menempatkan Pasal 494 sebagai bagian yang terintegrasi dengan Pasal 492 dan 493, yang mengatur penipuan secara umum dan penipuan terhadap sistem elektronik atau jasa keuangan. Hal ini menciptakan sistem hukum pidana yang lebih terstruktur dan saling terkait, dibandingkan KUHP Lama yang cenderung memuat ketentuan penipuan ringan secara terpisah tanpa hubungan sistematis yang kuat dengan pasal sebelumnya.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, Pasal 494 KUHP Baru merepresentasikan modernisasi dan rasionalisasi hukum pidana atas tindak pidana penipuan ringan. KUHP Baru memperbarui nilai ambang kerugian, memperluas kriteria penilaian, menetapkan kategori barang yang strategis, serta mengganti sanksi penjara dengan pidana denda yang lebih proporsional. Ini merupakan langkah progresif yang tidak hanya relevan dengan perkembangan ekonomi, tetapi juga mencerminkan asas keadilan dan efisiensi dalam sistem hukum pidana Indonesia.