Pasal 367 KUHP Lama menyatakan:
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Pasal 481 KUHP Baru menyatakan:
(1) Penuntutan pidana tidak dilakukan jika yang melakukan salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 476 sampai dengan PasaT 479 merupakan suami atau istri Korban Tindak Pidana yang tidak terpisah meja dan tempat tidur atau tidak terpisah Harta Kekayaan.
(2) Penuntutan pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan Korban jika pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suami atau istri Korban Tindak Pidana yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah Harta Kekayaan, atau merupakan keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun dalam garis menyamping sampai derajat kedua.
(3) Dalam masyarakat yang menggunakan sistem matriarkat, pengaduan dapat juga dilakukan oleh orang lain yang menjalankan Kekuasaan Ayah.
Penjelasan:
Pasal 367 KUHP Lama dan Pasal 481 KUHP Baru sama-sama mengatur mengenai pengecualian atau pembatasan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dan kejahatan sejenis dalam konteks hubungan kekeluargaan. Ketentuan ini mencerminkan asas perlindungan terhadap ikatan keluarga serta penghormatan terhadap ranah privat rumah tangga, terutama dalam perkara-perkara yang menyangkut harta benda antar anggota keluarga.
Baik dalam KUHP Lama maupun KUHP Baru, disebutkan bahwa apabila pelaku tindak pidana adalah suami atau istri dari korban dan tidak terpisah meja dan ranjang atau tidak terpisah harta kekayaan, maka penuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Namun, jika mereka telah terpisah tempat tinggal atau harta kekayaan, atau jika pelaku merupakan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus maupun menyamping sampai derajat kedua, maka penuntutan hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari korban. Hal ini menjadikan tindak pidana tersebut sebagai delik aduan relatif yang bergantung pada kehendak korban untuk melaporkannya.
Dari sisi redaksi, KUHP Baru menggunakan istilah dan bahasa hukum yang lebih sistematis dan modern. Istilah “orang yang terkena kejahatan” dalam KUHP Lama digantikan dengan “Korban Tindak Pidana” yang secara terminologis lebih tegas dan sesuai dengan pendekatan hukum pidana modern yang berorientasi pada hak korban. Selain itu, KUHP Baru juga menyusun norma dalam format yang lebih tertib: ayat pertama mengenai pengecualian, ayat kedua mengenai delik aduan, dan ayat ketiga mengenai penyesuaian dengan hukum adat.
KUHP Baru juga mempertahankan pengakuan terhadap sistem masyarakat adat, khususnya masyarakat yang menganut sistem matriarkal. Dalam hal ini, pengaduan dapat dilakukan oleh pihak yang menjalankan fungsi “ayah” menurut adat, sekalipun bukan ayah kandung. Ketentuan ini mempertegas bahwa hukum pidana nasional tetap memberi ruang bagi nilai-nilai kultural lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Dengan demikian, Pasal 481 KUHP Baru merupakan bentuk modernisasi dari Pasal 367 KUHP Lama tanpa menghilangkan substansi pokoknya. Pembaruan tersebut memperjelas norma hukum, memperkuat perlindungan terhadap hubungan keluarga, serta mengakomodasi nilai-nilai lokal dan pendekatan yang lebih manusiawi dalam sistem peradilan pidana.