Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru menyatakan:
“Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”
Ketentuan Hukum: Larangan Analogi dalam KUHP Baru
Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru menyatakan secara eksplisit:
“Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”
Ketentuan ini memperkuat asas legalitas dalam hukum pidana, yang menegaskan bahwa tidak ada seseorang yang dapat dihukum kecuali telah ada peraturan pidana yang secara jelas mengatur perbuatan tersebut sebelumnya.
Pengertian Analogi dalam Konteks Hukum
Analogi adalah metode penalaran hukum dengan cara menyamakan suatu peristiwa atau perbuatan yang belum diatur dalam hukum pidana dengan perbuatan lain yang sudah diatur, berdasarkan kemiripan sifat atau akibatnya. Meskipun metode ini sah dalam hukum perdata atau administrasi, penggunaan analogi dalam hukum pidana dilarang karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan.
Alasan Pelarangan Analogi dalam Hukum Pidana
Larangan ini bertujuan untuk:
- Menjamin kepastian hukum;
- Melindungi hak-hak asasi manusia dari kriminalisasi sewenang-wenang;
- Mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum;
- Menjaga agar hukum pidana tidak digunakan secara subjektif dan melampaui batas ketentuan hukum yang berlaku.
Contoh Kasus: Perbedaan Antara Penafsiran dan Analogi
Misalnya, Pasal 362 KUHP mengatur tentang pencurian barang bergerak. Jika seseorang mengambil data digital dan belum ada aturan yang secara khusus mengatur perbuatan tersebut, maka:
Jika hakim mengatakan bahwa pencurian data = pencurian barang bergerak karena keduanya “sama-sama diambil tanpa izin”, maka ia menggunakan analogi, yang dilarang.
Jika nanti ada undang-undang khusus yang mengatur pencurian data, maka barulah perbuatan tersebut dapat dijerat hukum secara sah.
Perbedaan dengan Penafsiran Hukum
Perlu dibedakan antara analogi dan penafsiran. Penafsiran masih diperbolehkan dalam hukum pidana, selama digunakan untuk memahami istilah atau unsur pasal yang memang telah ada. Penafsiran tidak memperluas norma, tetapi menjelaskan cakupan norma. Sedangkan analogi menciptakan norma baru berdasarkan kemiripan, yang dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas.
Kesimpulan
Larangan penggunaan analogi dalam KUHP Baru adalah bentuk perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Hal ini mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang belum secara eksplisit diatur oleh undang-undang pidana. Prinsip ini menegakkan asas legalitas dan menjaga integritas sistem peradilan pidana agar tidak digunakan secara sewenang-wenang oleh negara.