Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (rima) tahun dan atau denda paling Sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 5 di atas telah diubah melalui Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan:
Penjelasan Pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Larangan Suap Aktif dan Pasif
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur secara tegas mengenai perbuatan suap, baik dari sisi pemberi (suap aktif) maupun penerima (suap pasif). Ketentuan ini memperkuat upaya negara dalam memerangi korupsi, khususnya yang melibatkan aparatur negara sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dalam membuat atau memengaruhi keputusan publik.
Suap Aktif: Memberi atau Menjanjikan Sesuatu yang Bertentangan dengan Kewajiban
Ayat (1) mengatur bahwa setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan tujuan agar pihak tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya, dapat dijatuhi pidana penjara 1 hingga 5 tahun, dan/atau pidana denda antara Rp50 juta hingga Rp250 juta. Hal ini mencerminkan bentuk suap aktif, yaitu inisiatif datang dari pemberi suap, baik untuk mendapatkan keuntungan tertentu atau untuk memengaruhi proses administrasi, hukum, atau kebijakan yang seharusnya dijalankan secara objektif.
Suap Pasif: Penerimaan Pemberian atau Janji oleh Aparatur Negara
Sementara itu, ayat (2) mengatur ancaman pidana yang sama terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ini mencakup perbuatan menerima gratifikasi atau suap sebagai imbalan atas suatu tindakan atau keputusan yang telah atau akan diambil, yang seharusnya dilakukan secara profesional dan tidak memihak. Penekanan di sini adalah bahwa posisi sebagai aparatur negara tidak boleh disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Penguatan Unsur Tindak Pidana Korupsi Melalui Konfirmasi Norma
Perubahan yang dilakukan melalui UU No. 20 Tahun 2001 memperjelas substansi dari Pasal 5 dengan merinci bentuk-bentuk perbuatan yang sebelumnya hanya merujuk ke Pasal 209 KUHP (tentang pemberian suap kepada pegawai negeri). Dalam versi yang telah diubah, norma pidana tidak hanya menyebut pemberian dan janji, tetapi juga menambahkan konteks bahwa tindakan itu harus terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatan. Ini menjadi unsur penting dalam membedakan suap dengan hadiah yang sah, serta menjadi dasar utama dalam pembuktian niat jahat (mens rea) dalam kasus korupsi.
Dengan demikian, Pasal 5 UU Tipikor secara eksplisit menegaskan bahwa baik pelaku pemberi maupun penerima suap dengan motif dan maksud tertentu yang bertentangan dengan prinsip integritas jabatan harus diproses dan dihukum. Ini sejalan dengan prinsip zero tolerance terhadap korupsi yang menjadi fondasi hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.