Tindak Pidana Korupsi Karena Memperkaya Diri Secara Melawan Hukum

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

  1. Frasa “Setiap orang”

Frasa ini menunjukkan bahwa subjek hukum yang dapat dikenakan Pasal 2 ayat (1) bersifat umum dan tidak terbatas. Artinya, siapa pun dapat menjadi pelaku tindak pidana korupsi, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, baik pegawai negeri maupun pihak swasta. Dengan kata lain, tidak harus berstatus sebagai penyelenggara negara. Hal ini berbeda dari korupsi yang bersifat jabatan atau kedinasan sebagaimana diatur dalam pasal lain. Frasa ini membuka ruang pemidanaan yang luas terhadap siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.

  1. “yang secara melawan hukum”

Unsur ini merupakan bagian krusial dari rumusan delik korupsi dalam Pasal 2. “Melawan hukum” di sini dapat dimaknai dalam arti formil dan materiil. Secara formil, artinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara materiil, artinya bertentangan dengan hukum tidak tertulis, seperti asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran dalam pengelolaan keuangan negara. Bahkan Mahkamah Agung dalam beberapa yurisprudensi telah menafsirkan unsur ini secara luas, bahwa pelaku bisa tetap dipidana walau perbuatannya tidak secara eksplisit melanggar aturan tertulis, asalkan menimbulkan kerugian dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum. Oleh karena itu, unsur ini menekankan niat jahat (mens rea) dan penyimpangan dari norma hukum yang berlaku.

  1. “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”

Unsur ini mengandung tiga kemungkinan tujuan dari perbuatan pelaku, yaitu memperkaya: (a) diri sendiri, (b) orang lain, atau (c) suatu korporasi. Artinya, perbuatan tersebut tidak harus menguntungkan pelaku secara langsung, melainkan bisa saja memberikan keuntungan kepada pihak ketiga atau entitas hukum (korporasi). Dengan demikian, cakupan pasal ini mencakup tindak pidana korupsi yang bersifat kolutif, di mana pelaku menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan untuk memperkaya pihak lain sebagai bagian dari skema koruptif. Perkataan “memperkaya” mengacu pada penambahan kekayaan secara tidak sah, yang pada akhirnya berdampak pada hilangnya potensi kekayaan negara.

  1. “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Ini adalah unsur akibat, yaitu perbuatan memperkaya tersebut harus berakibat atau berpotensi berakibat pada kerugian negara. Kerugian yang dimaksud mencakup dua aspek: (1) keuangan negara, seperti hilangnya dana APBN/APBD, aset BUMN/BUMD, dan kekayaan negara lainnya; serta (2) perekonomian negara, seperti terganggunya sistem moneter, fiskal, atau ekonomi makro secara luas. Tidak diperlukan adanya kerugian yang aktual atau sudah terjadi—cukup jika dapat dibuktikan bahwa ada potensi kerugian. Oleh karena itu, pasal ini memiliki sifat preventif dan represif, untuk mencegah serta menindak setiap tindakan yang dapat membahayakan kepentingan keuangan dan ekonomi negara.

  1. “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”

Ketentuan ini menetapkan ancaman pidana pokok yang bersifat berat dan mencerminkan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam dua bentuk: (1) pidana penjara seumur hidup, atau (2) pidana penjara waktu tertentu, dengan batas minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun. Adanya minimum yang tinggi menunjukkan bahwa pelanggaran pasal ini tidak dapat dianggap ringan dan pembuat undang-undang menghendaki pemidanaan yang bersifat tegas.

  1. “dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Selain pidana penjara, pasal ini juga mensyaratkan pidana denda, yang bersifat kumulatif (bukan alternatif). Artinya, denda wajib dijatuhkan bersama dengan pidana penjara, bukan sebagai pilihan pengganti. Rentang dendanya cukup tinggi, yakni minimum Rp 200 juta dan maksimum Rp 1 miliar. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera dan sebagai bagian dari upaya pemulihan keuangan negara melalui mekanisme peradilan pidana. Dalam praktiknya, pengadilan juga sering memerintahkan pembayaran uang pengganti, yang menjadi bagian dari restitusi kepada negara.