Perbandingan Pasal 379a KUHP Lama dan Pasal 497 KUHP Baru Tentang Tindak Pidana Penipuan Berkedok Pembelian

Pasal 379a KUHP Lama menyatakan:

“Barang siapa menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan untuk membeli barang-barang, dengan maksud supaya tanpa pembayaran seluruhnya memastikan penguasaan terhadap barang- barang itu untuk diri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 497 KUHP Baru menyatakan:

“Setiap Orang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli Barang dengan maksud untuk menguasai Barang tersebut bagi diri sendiri atau orang lain tanpa melunasi pembayaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Substansi Pokok: Penipuan Berkedok Transaksi Komersial (Pembelian)

Baik Pasal 379a KUHP Lama maupun Pasal 497 KUHP Baru mengatur tindak pidana penipuan dalam bentuk transaksi pembelian fiktif atau curang, di mana pelaku membeli barang dengan maksud untuk tidak melunasi pembayaran, namun tetap ingin menguasai barang tersebut. Kedua pasal ini menekankan bahwa perbuatan tersebut merupakan kejahatan bermotif ekonomi yang dilakukan secara berulang atau profesional (karena menjadi kebiasaan atau mata pencaharian).

Unsur Perbuatan dan Niat Jahat (Mens Rea)

Dalam KUHP Lama, unsur “menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan” sudah menunjukkan adanya niat jahat yang berulang atau sistematis. Hal ini juga dipertahankan dalam KUHP Baru. Namun, KUHP Baru menggunakan redaksi yang lebih sistematis dan konsisten dengan struktur pasal lainnya, misalnya dengan penggunaan istilah “Setiap Orang” sebagai subjek hukum, dan frasa “menguasai barang tersebut bagi diri sendiri atau orang lain” yang memperluas cakupan perbuatan.

Jika dalam KUHP Lama disebut “tanpa pembayaran seluruhnya”, KUHP Baru menggunakan frasa “tanpa melunasi pembayaran”, yang secara makna lebih tepat dan umum, karena mencakup situasi di mana pembayaran dilakukan sebagian tetapi tidak tuntas.

Sanksi Pidana: Peningkatan dan Alternatif Denda

KUHP Lama mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, tanpa menyebutkan alternatif pidana lain. KUHP Baru meningkatkan ancaman pidana penjara menjadi paling lama 5 tahun, dan memberikan alternatif pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sampai Rp500.000.000.

Penambahan sanksi denda ini mencerminkan pendekatan hukum pidana modern yang lebih fleksibel dan proporsional, serta membuka ruang bagi pemidanaan yang tidak harus selalu berupa penjara. Peningkatan maksimum pidana juga menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menganggap perbuatan ini sebagai kejahatan serius, terutama karena pelaku menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Reformulasi Bahasa Hukum

KUHP Baru menunjukkan perbaikan redaksi yang lebih modern dan sistematis. Penggunaan frasa seperti “Setiap Orang” mencerminkan asas personalitas dalam pertanggungjawaban pidana. Frasa “melunasi pembayaran” lebih relevan dengan praktik transaksi modern dibandingkan dengan istilah “pembayaran seluruhnya” dalam KUHP Lama.