Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru: Larangan Menggunakan Analogi dalam Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru menyatakan:

“Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”

Penjelasan:

Prinsip ini menyatakan bahwa tindak pidana tidak boleh ditetapkan melalui analogi. Artinya, seorang hakim atau aparat penegak hukum tidak boleh menghukum seseorang dengan cara memperluas atau menafsirkan undang-undang secara analogi untuk memasukkan perbuatan yang tidak secara tegas disebutkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang.

Larangan ini sejalan dengan asas legalitas (nullum crimen, nulla poena sine lege), yang menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatan yang secara jelas diatur sebagai tindak pidana dalam undang-undang. Dengan demikian, asas ini memberikan kepastian hukum dan melindungi warga negara dari hukuman sewenang-wenang.

Contohnya, pasal pemalsuan dokumen mengatur tentang surat, akta, atau dokumen tertulis. Jika hakim ingin menghukum seseorang karena memalsukan akun media sosial dengan alasan “analog dengan surat identitas”, maka itu dilarang. Perbuatan itu baru bisa dipidana jika undang-undang secara tegas mengaturnya, misalnya dalam UU ITE.

Larangan penggunaan analogi memastikan bahwa hukum pidana hanya berlaku sesuai teks undang-undang, sehingga setiap orang dapat mengetahui terlebih dahulu apakah suatu perbuatan dapat berakibat pidana atau tidak. Prinsip ini menjadi salah satu pilar penting dalam sistem hukum pidana modern.