Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru menyatakan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Penjelasan:
Pasal ini menekankan bahwa asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatan yang diatur dalam undang-undang, tidak menghapus keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law). Konsep Living Law diperkenalkan oleh sosiolog hukum terkemuka, Frederik van der Heijden, dan sebelumnya dikembangkan oleh Eugen Ehrlich, yang menyatakan bahwa hukum tidak hanya terdapat dalam teks undang-undang, tetapi juga dalam norma, kebiasaan, dan praktik sosial yang hidup di masyarakat.
Pasal ini mengakui keberadaan norma sosial atau adat yang dijalankan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sebagai dasar penilaian moral dan sosial terhadap suatu perbuatan. Aparat penegak hukum atau hakim dapat mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat ketika menilai suatu perbuatan, sehingga tidak kaku hanya mengacu pada teks undang-undang.
Meski demikian, Living Law hanya dapat dijadikan pertimbangan, karena asas legalitas tetap berlaku. Hukuman pidana resmi harus tetap mengacu pada undang-undang, sementara hukum hidup berfungsi sebagai penuntun moral dan legitimasi sosial, memberikan dasar bagi masyarakat untuk menilai suatu perbuatan patut dipidana atau tidak.
Sebagai contoh, dalam komunitas adat tertentu, menghina leluhur atau tokoh adat dianggap sangat serius meski tindakan ini belum diatur dalam undang-undang nasional. Norma sosial dan adat ini dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi atau tindakan sesuai dengan nilai yang hidup di masyarakat, mencerminkan penerapan konsep Living Law.
