Pasal 22 KUHP Baru: Pengaruh Keadaan Pribadi Pelaku dan Pembantu terhadap Pemidanaan

Pasal 22 KUHP Baru menyatakan:

“Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat pidananya.”

Penjelelasan:

Makna Pasal 22 KUHP Baru menegaskan bahwa keadaan pribadi (personal circumstances) milik pelaku maupun pembantu dapat memengaruhi penjatuhan pidana. Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk menilai faktor-faktor individual yang melekat pada diri pelaku atau pembantu, yang dapat berakibat pada penghapusan pidana, pengurangan pidana, atau bahkan penambahan pidana.

Pertama, keadaan pribadi dapat menghapus pidana. Hal ini terjadi apabila pelaku memiliki kondisi tertentu yang oleh KUHP diakui sebagai alasan pengecualian pemidanaan. Contohnya adalah apabila pelaku masih anak dalam batas usia tertentu, mengalami gangguan jiwa berat, berada dalam keadaan daya paksa psikis yang tidak dapat dihindari, atau berada dalam kekeliruan yang tidak dapat dipersalahkan. Dalam situasi ini, perbuatan pidana memang terjadi, tetapi pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku.

Kedua, keadaan pribadi dapat mengurangi pidana. Faktor-faktor seperti usia pelaku yang sangat muda atau sangat tua, tingkat pendidikan, ketergantungan pada pelaku utama, kondisi sosial-ekonomi, peran yang sangat kecil terutama bagi pembantu, atau adanya penyesalan dan upaya memperbaiki akibat dari tindak pidana, dapat menjadi dasar hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 21 KUHP yang secara khusus memungkinkan keringanan bagi pembantu.

Ketiga, keadaan pribadi juga dapat memperberat pidana. Hal ini terjadi apabila pelaku memiliki latar belakang atau motif yang membuat tingkat kesalahannya lebih besar. Contohnya termasuk adanya rekam jejak sebagai residivis, penyalahgunaan jabatan atau profesi, penyalahgunaan posisi sebagai orang tua atau pendidik, atau adanya niat jahat yang kuat dan tindakan yang direncanakan secara matang. Faktor-faktor tersebut dapat membuat hakim menjatuhkan pidana mendekati batas maksimum.

Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 22 KUHP Baru mempertegas prinsip individualisasi pidana, yaitu bahwa pemidanaan tidak boleh bersifat mekanis atau seragam. Setiap pelaku harus dinilai berdasarkan peran, kondisi, keadaan pribadi, dan tingkat kesalahannya. Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam KUHP Baru diarahkan agar lebih manusiawi, proporsional, dan sesuai dengan karakteristik setiap perkara.