Pasal 21 ayat (5) KUHP Baru: Penerapan Pidana Tambahan bagi Pembantu Tindak Pidana

Pasal 21 ayat (5) KUHP Baru menyatakan:

“Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.”

Penjelasan:

Pasal 21 ayat (5) KUHP Baru mengatur bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pembantu tindak pidana bersifat sama dengan pidana tambahan yang berlaku bagi pelaku utama. Artinya, meskipun pembantu menerima pidana pokok yang lebih ringan seperti yang diatur dalam ayat (3) dan ayat (4), ia tetap dapat dikenai seluruh jenis pidana tambahan yang ditentukan untuk tindak pidana tersebut. Dengan demikian, KUHP Baru membedakan berat-ringannya pidana pokok, tetapi tidak membedakan pemerolehan pidana tambahan antara pelaku utama dan pembantu.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang memandang pidana tambahan sebagai instrumen yang berfungsi bukan hanya sebagai pembalasan, melainkan juga sebagai sarana pencegahan dan koreksi perilaku. Karena pidana tambahan bertujuan menjaga ketertiban sosial, memulihkan keadaan, atau mencegah pengulangan tindak pidana, maka pembantu pun dapat dikenai sanksi tambahan yang sama dengan pelaku utama. Misalnya, dalam tindak pidana tertentu yang memungkinkan pencabutan hak jabatan, larangan menjalankan profesi, atau perampasan barang, pembantu dapat dikenai pidana tambahan tersebut tanpa pengurangan.

Melalui ketentuan ini, KUHP Baru menegaskan bahwa meskipun peran pembantu lebih kecil sehingga pidana pokoknya lebih rendah, tanggung jawabnya terhadap akibat hukum yang memerlukan penerapan pidana tambahan tetap dianggap signifikan. Hal ini menjaga konsistensi dan proporsionalitas pemidanaan, sekaligus memastikan bahwa pembantu tidak mendapatkan perlakuan yang terlalu ringan dalam aspek-aspek yang menyangkut pemulihan, pencegahan, dan perlindungan kepentingan masyarakat.