Pasal 21 ayat (3) KUHP Baru: Batas Maksimum Pemidanaan Pembantuan

Pasal 21 ayat (3) KUHP Baru menyatakan:

“Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.”

Penjelasan:

Pasal 21 ayat (3) KUHP Baru mengatur batas maksimum pidana bagi seseorang yang terbukti melakukan pembantuan dalam tindak pidana. Ketentuan ini menyatakan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada pembantu tidak boleh melebihi dua per tiga dari ancaman pidana maksimum yang berlaku bagi pelaku utama. Dengan demikian, pembantu secara hukum selalu ditempatkan pada posisi yang lebih ringan dibandingkan pelaku, karena perannya dianggap tidak dominan dalam terjadinya tindak pidana.

Pengaturan batas maksimal dua per tiga ini menunjukkan prinsip proporsionalitas dalam pemidanaan. Pembantuan pada dasarnya adalah perbuatan yang bersifat membantu atau memfasilitasi tindak pidana, bukan menjadi motor utama terjadinya kejahatan. Oleh sebab itu, KUHP Baru memberikan ruang agar hakim tetap dapat menjatuhkan pidana yang memadai, tetapi tidak sampai setara dengan ancaman pidana bagi pelaku utama. Model pengurangan ini juga lebih fleksibel dibandingkan sistem KUHP Lama yang menggunakan pengurangan sepertiga secara otomatis.

Secara praktis, ketentuan ini berarti bahwa dalam setiap tindak pidana, hakim harus terlebih dahulu melihat ancaman pidana maksimum bagi pelaku utama. Setelah itu, hakim menghitung dua per tiga dari ancaman tersebut sebagai batas tertinggi pidana bagi pembantu. Hakim tetap memiliki keleluasaan untuk memberikan pidana yang lebih ringan sesuai dengan tingkat kesalahan dan kontribusi pembantu, namun tidak dapat menjatuhkan pidana lebih berat dari batas dua per tiga itu. Ketentuan ini mempertegas diferensiasi peran dan menjaga keseimbangan dalam penjatuhan pidana.