Pasal 23 ayat (1) KUHP Baru: Pengulangan Tindak Pidana

Pasal 23 ayat (1) KUHP Baru menyatakan:

Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang:

a. melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

b. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

Penjelasan:

Pasal 23 ayat (1) KUHP Baru mengatur mengenai konsep pengulangan tindak pidana atau recidive. Pengulangan ini terjadi ketika seseorang yang sebelumnya sudah pernah dijatuhi pidana kembali melakukan tindak pidana baru. Ketentuan ini penting karena status pengulangan dapat menjadi dasar pemberatan pidana dalam putusan selanjutnya.

Ketentuan pada huruf (a) menjelaskan bahwa seseorang dianggap melakukan pengulangan apabila ia kembali melakukan tindak pidana dalam waktu 5 tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang pernah dijatuhkan kepadanya. Selain itu, pengulangan juga dianggap terjadi apabila pidana pokok sebelumnya telah dihapuskan, misalnya melalui amnesti atau alasan hukum tertentu, dan dalam waktu 5 tahun sejak penghapusan itu ia tetap melakukan kejahatan baru. Artinya, batas waktu lima tahun memiliki peran menentukan apakah seseorang akan dinyatakan residivis.

Sementara itu, huruf (b) memperluas cakupan pengulangan tindak pidana. Seseorang juga dikategorikan sebagai residivis apabila ketika ia melakukan tindak pidana baru, kewajiban menjalani pidana pokok dari perkara sebelumnya masih belum kedaluwarsa. Contoh keadaan ini adalah ketika seseorang sudah divonis tetapi belum dieksekusi, atau ketika pidana denda yang dijatuhkan masih dapat ditagih secara sah. Selama kewajiban pidana sebelumnya secara hukum masih berlaku, maka tindak pidana baru yang dilakukan akan dianggap sebagai pengulangan.

Secara keseluruhan, Pasal 23 ayat (1) memberikan kepastian mengenai dua situasi yang menimbulkan status residivis, baik berdasarkan batas waktu setelah menjalani atau dihapuskannya pidana, maupun berdasarkan masih aktifnya kewajiban menjalani pidana sebelumnya. Pengaturan ini memastikan bahwa pengulangan tindak pidana dapat diidentifikasi secara objektif dan konsisten dalam proses peradilan pidana.