Pasal 35 KUHP Baru menyatakan:
“Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan alasan pembenar.”
Penjelasan:
Pasal 35 KUHP Baru menegaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2). Ketentuan ini menempatkan ketiadaan sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar, yakni alasan yang membuat perbuatan yang secara formil tampak sebagai tindak pidana menjadi benar secara hukum. Dengan demikian, meskipun unsur-unsur deliknya terpenuhi, jika perbuatannya secara substansial tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, atau nilai keadilan, pelakunya tidak dapat dipidana.
Ketentuan ini berkaitan erat dengan doktrin melawan hukum formil dan materiil. Melawan hukum formil mengacu pada perbuatan yang bertentangan dengan rumusan undang-undang, sedangkan melawan hukum materiil terkait dengan konflik perbuatan tersebut dengan prinsip keadilan, norma masyarakat, atau tujuan hukum. Pasal 35 menegaskan bahwa jika kedua atau salah satu aspek melawan hukum ini tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut kehilangan sifat terlarangnya. Perbuatan itu tidak lagi dianggap sebagai kejahatan secara hukum, melainkan sebagai tindakan yang dibenarkan.
Prinsip ketiadaan sifat melawan hukum ini sangat penting dalam praktik penegakan hukum. Banyak situasi di mana perbuatan yang secara formil memenuhi unsur delik, namun secara materiil justru dilakukan demi kepentingan umum atau untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Misalnya, seorang dokter yang melakukan tindakan medis darurat tanpa persetujuan pasien, atau seseorang yang mengambil alat untuk menyelamatkan nyawa dalam keadaan gawat. Dalam contoh-contoh tersebut, meskipun secara formal tampak melanggar, secara materiil perbuatan tersebut dibenarkan oleh hukum karena sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, Pasal 35 menegaskan bahwa hukum pidana tidak semata-mata menekankan kepastian hukum melalui teks undang-undang, tetapi juga memperhatikan keadilan substantif. Prinsip ini memastikan bahwa hukum tetap manusiawi, proporsional, dan tidak memidana orang yang tindakannya sebenarnya sejalan dengan nilai hukum yang lebih luhur.
