Pasal 11 KUHP Baru: Tempat Tindak Pidana

Pasal 11 KUHP Baru menyatakan:

Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana.

Penjelasan:

Pasal ini menjelaskan konsep Locus Delicti, yaitu tempat terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain, locus delicti menunjukkan di mana suatu perbuatan dianggap telah dilakukan dan di mana hukum pidana Indonesia dapat diterapkan. Konsep ini menjadi penting dalam menentukan wilayah hukum yang berwenang untuk menangani suatu perkara pidana.

Penentuan tempat tindak pidana memiliki fungsi praktis yang besar dalam sistem peradilan pidana. Pertama, hal ini berhubungan dengan kewenangan wilayah (kompetensi relatif) dari penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Artinya, penegak hukum yang berada di wilayah tempat tindak pidana terjadi memiliki dasar hukum untuk memproses perkara tersebut. Kedua, locus delicti juga berkaitan dengan penerapan hukum pidana nasional, terutama jika suatu perbuatan dilakukan sebagian di luar wilayah Indonesia. Ketiga, penentuan tempat tindak pidana membantu dalam pembuktian dan rekonstruksi peristiwa pidana, karena menunjukkan titik awal terjadinya perbuatan.

Sebagai contoh, seorang warga Indonesia mengirim pesan ancaman pembunuhan melalui media sosial dari Surabaya kepada korban yang berada di Bandung. Dalam kasus ini, tempat tindak pidana dapat dianggap Surabaya, tempat pelaku mengirim ancaman. Namun, bisa juga dianggap Bandung, tempat korban menerima ancaman dan mengalami ketakutan. Keduanya dapat dijadikan dasar untuk menentukan wilayah hukum yang berwenang, tergantung pada unsur tindak pidana yang terbukti.

Dengan demikian, Pasal 11 KUHP Baru menegaskan bahwa tempat tindak pidana adalah lokasi dilakukannya perbuatan pidana. Penentuan tempat ini penting untuk memastikan berlakunya asas teritorialitas, yaitu bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap tindak pidana yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.