Pasal 10 KUHP Baru: Waktu Tindak Pidana

Pasal 10 KUHP Baru menyatakan:

Waktu Tindak Pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana.

Penjelasan:

Pasal ini menegaskan bahwa waktu terjadinya tindak pidana adalah saat perbuatan pidana dilakukan, bukan saat akibat dari perbuatan itu muncul. Artinya, fokus utama hukum pidana adalah pada tindakan atau perbuatan pelaku yang melanggar hukum, bukan pada akibat yang mungkin timbul kemudian. Prinsip ini penting karena menentukan hukum mana yang berlaku, usia pelaku saat melakukan perbuatan, serta masa daluwarsa suatu tindak pidana.

Dalam konteks hukum pidana, waktu tindak pidana memiliki fungsi krusial. Misalnya, bila terdapat perubahan undang-undang setelah perbuatan terjadi, maka yang dipakai adalah hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (kecuali ada ketentuan yang lebih menguntungkan pelaku, sesuai Pasal 3 KUHP Baru). Dengan demikian, Pasal 10 berfungsi untuk memastikan kepastian hukum mengenai kapan suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana.

Contohnya, seseorang pada tahun 2020 mengunggah konten yang mengandung ujaran kebencian di media sosial. Pada tahun 2022, undang-undang baru diterbitkan yang memperberat sanksi untuk perbuatan serupa. Karena tindak pidana dilakukan pada tahun 2020, maka waktu tindak pidana dianggap terjadi tahun 2020, dan hukum yang berlaku adalah hukum tahun 2020, bukan hukum baru yang muncul kemudian.

Dengan demikian, Pasal 10 KUHP Baru menegaskan prinsip tempus delicti (waktu terjadinya delik) sebagai saat pelaku melakukan perbuatan pidana, bukan saat akibatnya muncul atau dirasakan. Prinsip ini mendukung asas legalitas dan memberikan kepastian hukum bagi setiap orang dalam penerapan hukum pidana.