Pasal 17 ayat (3) KUHP Baru: Ancaman Pidana untuk Percobaan Tindak Pidana

Pasal 17 ayat (3) KUHP Baru menyatakan:

Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Penjelasan:

Pasal 17 ayat (3) KUHP Baru menetapkan bahwa pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana paling banyak dua pertiga dari maksimum ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan. Ketentuan ini mengatur batas maksimal hukuman bagi pelaku yang baru sampai pada tahap percobaan, bukan pada pelaksanaan penuh dari tindak pidana.

Dasar pemikiran aturan ini adalah asas proporsionalitas dalam hukum pidana, yaitu bahwa berat ringannya pidana harus sebanding dengan tingkat kesalahan dan akibat yang ditimbulkan. Dalam percobaan tindak pidana, meskipun pelaku telah menunjukkan niat jahat dan mulai melakukan perbuatan yang mengarah pada tindak pidana, kejahatan tersebut belum selesai atau belum menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dibandingkan apabila tindak pidana tersebut benar-benar selesai dilakukan.

Sebagai contoh, jika suatu tindak pidana memiliki ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun, maka untuk percobaan melakukan tindak pidana tersebut, hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun (2/3 dari 15 tahun). Demikian pula, jika tindak pidananya diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun, maka percobaannya hanya dapat dijatuhi hukuman paling lama 6 tahun.

Ketentuan dua pertiga ini juga mencerminkan penilaian moral dan yuridis bahwa pelaku percobaan tindak pidana tetap patut dipidana karena telah memperlihatkan niat dan tindakan yang membahayakan kepentingan hukum, namun kesalahannya lebih ringan dibanding pelaku yang tindak pidananya telah selesai atau menimbulkan akibat nyata.

Dengan demikian, Pasal 17 ayat (3) KUHP Baru menegaskan prinsip keseimbangan antara pencegahan (deterrence) dan keadilan (justice). Negara tetap berhak menghukum pelaku percobaan karena perbuatannya sudah berpotensi menimbulkan kejahatan, tetapi pada saat yang sama memberikan pengurangan hukuman sebagai bentuk pengakuan bahwa tindak pidana tersebut belum benar-benar terjadi secara sempurna.