Pasal 15 ayat (1) KUHP Baru: Persiapan Melakukan Tindak Pidana

Pasal 15 ayat (1) KUHP Baru menyatakan:

“Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana.”

Penjelasan:

Ketentuan ini secara tegas membedakan antara tahap persiapan (preparation stage) dan tahap pelaksanaan (execution stage) dalam hukum pidana. Pada tahap persiapan, pelaku belum melakukan perbuatan yang secara langsung menimbulkan akibat pidana, melainkan baru menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Contohnya adalah membeli senjata untuk perampokan, menyusun rencana pembobolan bank, mengumpulkan data korban untuk penipuan, atau menyiapkan bahan peledak untuk aksi teror.

Pasal ini juga menegaskan bahwa unsur penting dalam persiapan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga adanya maksud (intensi) yang jelas untuk melakukan tindak pidana. Artinya, tindakan seperti membeli alat atau mencari informasi tidak dapat dikategorikan sebagai persiapan tindak pidana jika tidak ada niat atau tujuan jahat di baliknya. Oleh karena itu, pembuktian niat menjadi aspek krusial dalam menilai apakah suatu tindakan telah masuk dalam kategori “persiapan” menurut hukum pidana.

Dari sudut pandang dogmatik hukum, Pasal 15 ayat (1) KUHP Baru merupakan bentuk penguatan upaya preventif dalam sistem pemidanaan Indonesia. Negara dapat melakukan intervensi hukum lebih awal terhadap tindakan yang berpotensi menimbulkan kejahatan besar, tanpa harus menunggu akibatnya terjadi. Namun, penerapan pasal ini juga harus hati-hati agar tidak melanggar asas tiada pidana tanpa perbuatan (nullum crimen sine actu) dan prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana.

Dengan demikian, Pasal 15 ayat (1) KUHP Baru mencerminkan keseimbangan antara kepentingan pencegahan kejahatan (preventive justice) dan perlindungan hak individu dari kriminalisasi dini. Ketentuan ini memberi dasar hukum yang jelas untuk menindak pelaku pada tahap awal perencanaan kejahatan, tetapi tetap mengharuskan adanya bukti niat yang nyata dan terarah terhadap terjadinya tindak pidana.