Pasal 13 ayat (5) KUHP Baru: Pidana Tambahan terhadap Permufakatan Jahat

Pasal 13 ayat (5) KUHP Baru menyatakan:

Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Penjelasan:

Pasal 13 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru menyatakan bahwa “Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.” Ketentuan ini mengatur kesetaraan antara pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku permufakatan jahat dan pidana tambahan yang berlaku bagi pelaku tindak pidana yang benar-benar melakukan kejahatan tersebut.

Artinya, meskipun permufakatan jahat baru berada pada tahap perencanaan dan tindak pidana yang dimaksud belum terlaksana, pelaku yang terbukti melakukan permufakatan tetap dapat dijatuhi pidana tambahan. Pidana tambahan ini memiliki bentuk dan jenis yang sama seperti yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku utama tindak pidana. Contohnya antara lain pencabutan hak tertentu, perampasan barang yang digunakan atau diperoleh dari kejahatan, hingga pengumuman putusan hakim.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia menempatkan permufakatan jahat sebagai perbuatan yang cukup serius karena memiliki potensi langsung untuk menimbulkan kejahatan yang lebih besar. Dengan menyamakan pidana tambahan bagi pelaku permufakatan dengan pelaku utama, hukum berupaya memberikan efek jera dan pencegahan dini terhadap upaya-upaya awal yang dapat mengarah pada tindak pidana berat.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa meskipun pidana tambahan yang dapat dijatuhkan sama, pidana pokok antara permufakatan jahat dan tindak pidana yang selesai tetap berbeda. Permufakatan jahat umumnya diancam dengan pidana yang lebih ringan karena belum terjadi akibat hukum atau kerugian nyata dari tindak pidana yang direncanakan.

Dengan demikian, Pasal 13 ayat (5) KUHP Baru menegaskan pentingnya peran pencegahan dalam hukum pidana, tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku permufakatan jahat.