Pasal 13 ayat (2) KUHP Baru menyatakan:
“Permufakatan jahat terjadi jika dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan tindak pidana.”
Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tidak selalu dapat dipidana, kecuali apabila undang-undang secara tegas menyatakannya sebagai perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana. Dengan kata lain, tidak setiap kesepakatan untuk melakukan tindak pidana otomatis dapat dihukum, melainkan hanya pada jenis kejahatan tertentu yang secara eksplisit diatur oleh pembentuk undang-undang.
Prinsip ini merupakan bentuk penerapan asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege), yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Meskipun permufakatan jahat menunjukkan niat jahat (mens rea) dan potensi terjadinya kejahatan, hukum pidana tidak menghukum niat semata, melainkan perbuatan yang secara nyata dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Oleh karena itu, hanya permufakatan terhadap tindak pidana yang dinyatakan secara tegas sebagai delik permufakatan jahat, misalnya dalam kasus makar, terorisme, perdagangan narkotika, atau kejahatan terhadap keamanan negara,yang dapat dikenai sanksi pidana.
Tujuan dari ketentuan ini adalah menjaga proporsionalitas dan keadilan dalam penegakan hukum pidana. Negara tidak boleh menghukum seseorang hanya karena adanya niat atau rencana tanpa dasar hukum yang tegas. Dengan demikian, rumusan ini berfungsi sebagai batas perlindungan terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan penegakan hukum, sekaligus memastikan bahwa intervensi pidana hanya dilakukan terhadap perbuatan yang benar-benar telah ditetapkan secara eksplisit oleh undang-undang sebagai permufakatan jahat yang dapat dipidana.
