Pasal 12 Ayat (3) KUHP Baru menyatakan:
“Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.”
Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur yang melekat pada setiap tindak pidana. Artinya, setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya bertentangan dengan hukum, baik dalam arti melanggar peraturan perundang-undangan maupun bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, sifat melawan hukum tersebut dapat dihapus apabila terdapat alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu keadaan tertentu yang secara hukum membuat perbuatan yang tampaknya melanggar hukum menjadi benar atau dibenarkan.
Alasan pembenar merupakan bentuk pengakuan hukum terhadap situasi di mana pelaku melakukan suatu perbuatan terlarang demi tujuan yang sah atau berdasarkan kondisi yang dapat dibenarkan secara hukum. Dalam konteks ini, perbuatan pelaku secara formal memang memenuhi rumusan tindak pidana, tetapi secara materiil kehilangan sifat melawan hukumnya. Beberapa contoh alasan pembenar antara lain pembelaan terpaksa (noodweer), pelaksanaan perintah jabatan (ambtelijk bevel), keadaan darurat (noodtoestand), dan persetujuan yang sah (toestemming), seperti tindakan medis yang dilakukan dokter atas persetujuan pasien.
Rumusan Pasal 12 ayat (3) menunjukkan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Hukum pidana tidak hanya menilai suatu perbuatan berdasarkan unsur formalnya, tetapi juga mempertimbangkan konteks moral dan tujuan dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, hukum pidana tidak bersifat kaku dan mekanistis, melainkan rasional, manusiawi, dan berorientasi pada keadilan.
Dengan adanya ketentuan ini, KUHP Baru mempertegas bahwa meskipun setiap tindak pidana selalu bersifat melawan hukum, hukum tetap memberikan ruang bagi pengecualian apabila terdapat alasan pembenar yang sah. Prinsip ini mencerminkan pendekatan humanistik dan proporsional dalam hukum pidana Indonesia, di mana penegakan hukum tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan yang menjadi dasar pembaruan sistem hukum pidana nasional.
